Diposkan pada EKA DARMAPUTERA NOTES

KUMPULAN RENUNGAN “PENDERITAAN ” oleh Eka Darmaputera

Bukan Sebabnya, Tapi Responsnya
Oleh Eka Darmaputera

Terbujur di pembaringan, mengaduh di puncak kesakitan, biasanya membuat orang berfikir, “Ah, sekiranya saja Tuhan mau datang, dan bersedia menjelaskan apa sebab musabab semua penderitaan ini! Oh, waktu itu, betapa leganya hatiku, dan puasnya batinku – pasti! Aku akan mampu menerima “nasib”ku. Sebab paling sedikit kini aku mengerti, mengapa semua yang terjadi ini, terjadi”

Ayub – seperti kita — juga pernah berfikir begitu. “Ah, kalau saja Tuhan mau datang — sekali saja — memberi penjelasan!” Dan dalam kasus Ayub, ternyata Tuhan benar-benar datang. “Dalam badai,” begitu kata Ayub 40:1. Tapi legakah Ayub karenanya? Terpenuhikah harapan-harapannya? Jawabnya adalah: Tidak!

Pertama, kemungkinan besar Ayub – seperti kita – tentu membayangkan, bahwa Allah akan datang dengan kalimat-kalimat yang menghibur meneguhkan, dengan sikap hangat dan lembut kebapaan, dan dengan senyum yang menyalakan kembali harapan yang nyaris padam.

Memang sepantasnya begitu! Sebab bukankah Ayub adalah kekasih dan putra kebanggaan Allah! Dengarlah apa yang Ia katakan kepada Iblis, “Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan” (Ayuib 1:8). Dan hamba kekasih serta kebanggaan Allah itu, kini sedang tertekan, kesakitan, dan menderita teramat sangat!

* * *

NAMUN itukah yang Allah lakukan? Datang dengan lembut, ramah dan sikap menghibur? Jawabnya adalah: Tidak! Sebaliknyalah, Ia datang dengan wajah merah padam. Mungkin mendobrak pintu, mungkin menggebrak meja, dan dengan suara mengguntur berkata, “Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan? Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku” (38:2-3). Astaga!

Saya bayangkan, Ayub pasti terpana. Shock berat. Mulutnya terbuka, matanya terbelalak, tak bisa percaya. Hal yang tak pernah ia harapkan bisa terjadi adalah, bahwa Allah datang membombardirnya dengan daftar pertanyaan yang panjang. Bukan membawa jawaban!

Tuhan seakan-akan tak peduli sedikit pun akan 35 pasal yang sarat dengan perdebatan dan kontroversi yang panas, yang sampai pada akhirnya tetap menyisakan pertanyaan-pertanyaan penting yang tak terjawab. Pendeta yang paling buruk pun, saya kira, tak akan tega melakukan seperti apa yang Allah lakukan, terhadap warga jemaatnya yang tengah limbung kehilangan pegangan di limbah kesakitan. Toh Allah melakukannya. Ini tentu sangat mengherankan!

Hal kedua yang kita baca adalah, bahwa Ia bukan hanya tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Ayub – yang nota bene adalah pertanyaan-pertanyaann yang sah –, eee Ia malah berpidato panjang lebar mengenai hal-hal yang sama sekali tidak punya relevansi apa-apa.

Kepada orang yang sedang menderita kesakitan, Allah malah memberi kuliah atau ceramah tentang alam semesta. Tentang matahari trerbit, tentang hujan dan salju, tentang badai, tentang singa, tentang kambing hutan, tentang keledai liar, tentang burung onta, tentang kuda, tentang burung-burung. (Ayub 38 dan 39).

Setiap selesai menjelaskan satu pokok, Ia juga menyodok dengan pertanyaan yang membuat Ayub terhempas ke sudut, ” Ayub, mampukah engkau sedikit saja meniru apa yang Aku lakukan? Apakah engkau cukup arif untuk memerintah dunia? Mempunyai lengan seperti lengan-Ku? Dan suara mengguntur seperti suara-Ku? Ayo jawab, Ayub, jawab!”

Kadang-kadang tidak puas dengan itu, jawaban Allah masih disertai pula dengan sarkasme yang menusuk hati, misalnya, “Tentu engkau mengenalnya, karena ketika itu engkau telah lahir, dan jumlah hari-harimu telah banyak” (38:21) Saya bayangkan nada yang mengejek dan mulut yang tersenyum sinis.

* * *

PERTANYAAN kita tentu adalah, mengapa Allah menjawab begitu, dan di saat-saat seperti itu? Mengapa Tuhan seolah-olah tidak mempedulikan luka batin Ayub? Terjang terus, sekali pun lawan telah jatuh?

Kelihatan dengan amat jelas, betapa Allah menolak memberi jawaban yang logis yang rinci, butir demi butir, mengenai sebab musabab kesakitan dan penderitaan. Ia juga menampik dengan tegas “tuntutan” Ayub untuk memberikan “pertanggung-jawaban”. Ketika banyak orang Kristen mengangkat diri menjadi “pahlawan iman” dan “pembela” Allah dalam masalah kesakitan dan penderitaan ini, eee, Allah sendiri tidak merasa perlu membuat pembelaan diri atau “apologia”. Allah tidak memerlukan pembelaan!

Apa sih yang sebenarnya Allah inginkan dari Ayub? Alkitab ingin memperlihatkan betapa Allah amat serius dengan apa yang Ia nyatakan. Bahwa isu kesakitan dan penderitaan bukanlah isu enteng, yang cukup dijawab dengan luapan -luapan spontan semata. Allah menuntut sikap yang benar dan tepat – bukan teori!

Apa yang Ia mau katakan? Ini: BAHWA SELAMA MANUSIA NYARIS TIDAK TAHU APA-APA TENTANG BEKERJANYA ALAM SEMESTA – TERMASUK HAL-HAL YANG KELIHATANNYA REMEH DAN BIASA (MATAHARI TERBIT DAN TENGGELAM, ANGIN TOPAN DAN HUJAN, SINGA DAN KAMBING HUTAN) – JANGANLAH IA BERLAGAK BISA MENJADI PENENTU APA YANG BENAR DAN APA YANG SALAH (= MORALITAS) DI ALAM INI. Terlebih-lebih, bila Tuhan pun mau ia adili!

Lalu apa yang Ia inginkan? Cuma satu ini: KEPASRAHAN DIRI YANG PENUH, UTUH DAN MENYELURUH KEPADA APA PUN – SEKALI LAGI, KEPADA APA PUN – YANG DIPERBUAT ALLAH. Janganlah pernah terpikir di benak Anda, untuk duduk di kursi hakim, lalu mengadili Allah, karena apa yang Ia lakukan sehubungan dengan kesakitan dan penderitaan manusia.

Selama Anda tak mampu mengatur datangnya musim kemarau dan musim penghujan, menciptakan mahluk-mahluk kecil seperti kecambah atau kecebong, Anda tidak berhak, dan tidak memenuhi syarat untuk mengadili Allah, sang Maha Pencipta.

Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Barangsiapa berniat untuk menghakimi Allah, biarlah ia terlebih dahulu meyadari kekecilannya dan kebesaran-Nya! Dan sebaiknya Anda percaya saja sepenuh hati Anda, bahwa Ia yang berkuasa mencipta kita dari tiada menjadi ada, masakan Ia tak berkuasa untuk memelihara dan menjaga kita?

* * *

DALAM kaitan ini, sungguh menarik mengikuti komentar Philip Yancey terhadap buku Harold Kushner, “When Bad Things Happen to Good People”, yang amat termashur itu. Yancey mengritik Kushner, karena yang disebut belakangan – sekalipun percaya akan kebaikan Allah – toh mempertanyakan kemampuan serta kemahakuasaan-Nya.

Menurut Kushner, Allah itu baik. Ia tidak suka melihat anak-anak-Nya menderita. Ia pun berupaya mencegah dan menolong mereka. Tapi, apa boleh buat, Ia tak cukup mampu untuk itu. Mengapa? Karena Ia adalah Allah keadilan, bukan Allah kekuatan. Oleh karena itu, kita berharap terlalu banyak. Bukan sapunya yang salah, bukan, kalau sapu tersebut tidak dapat kita pakai untuk, misalnya, bermain musik?

Yancey mempertanyakan dalil Kushner ini. Atas dasar apakah ia dapat mengatakan, bahwa Allah seolah-olah berkata kepada Ayub, “Yub, maaf banget deh! Aku sebenarnya ingin menolong, tapi mau bagaimana lagi, Aku tak mampu”?

Sebaliknyalah, begitu Yancey, yang kita baca dalam kitab Ayub adalah, betapa Allah datang kepada Ayub untuk menyatakan kemaha-kuasaan-Nya! Ia tak pernah satu kalipun sekalipun minta maaf kepada Ayub atas ketidak-mampuan-Nya. Elie Wiesel pun berpendapat sama. Bila benar Allah adalah seperti yang ditulis oleh Rabi Kushner, katanya, Ia pantas untuk mundur, dan memberi kesempatan kepada yang lebih mampu untuk menggantikan-Nya.

* * *

SETELAH ini jelas, sekarang kita dapat kembali kepada pertanyaan utama kita: bagaimana seharusnya kita menyikapi kesakitan dan penderitaan kita? Bagaimana seharusnya kita memandangnya, memahaminya, menafsirkannya, dan kemudian menyikapinya?

Menjawab ini, kita hanya harus kembali kepada jalan pemikiran Yesus dalam Lukas 13 dan Yohanes 9. Di sini Yesus juga tidak ingin kita menghabiskan enersi serta mengarahkan konsentrasi kita kepada persoalan yang bersifat spekulatif, yang tidak mempunyai makna bagi kehidupan sehari-hari. Yaitu pertanyaan “mengapa?”.

Kepada Ayub, secara implisit Allah ingin mengatakan, bahwa kalaupun Ia menjawabnya, Ayub toh tak akan mengerti juga. Seperti menjelaskan persoalan matematika tinggi kepada jebolan kelas 2 SD. Percuma!

Yang relevan bukanlah “mengapa”nya, melainkan “bagaimana merespon”nya. Apakah kita biarkan penderitaan itu mematahkan semangat kita dan memadamkan seluruh vitalitas hidup kita? Atau, walau amat terbatas dan lemah, kita masih dapat menjadikan hidup kita tetap bermakna? Saya selalu terharu melihat seorang bocah kecil yang walau tak dapat lagi menggunakan tangannya untuk melukis, ia tidak menyerah. Ia memakai mulutnya.

Dua Kesalahan
Oleh Eka Darmaputera

Setelah beberapa kali mengikuti rangkaian tulisan saya mengenai “kesakitan”, mungkin orang akan berkomentar, “Enak saja si Eka itu ngomong. Dia tidak mengalami sendiri sih, bagaimana realitas kesakitan itu. Pahitnya. Capeknya. Frustrasi-frustrasinya.”

Bila komentar itu datang dari saudara saya, yang saat ini sedang menyeringai menahan siksa rasa sakit, perkenankanlah saya melalui tulisan ini menyampaikan simpati saya yang sedalam-dalamnya. Demi Tuhan, tak secuil pun ada maksud di benak saya, meremehkan penderitaan Anda! Namun, dalam batas-batas tertentu, saya tahu apa artinya kesakitan.

Selama hampir duapuluh tahun terakhir ini, saya mengidap bukan cuma satu, melainkan beberapa, penyakit, yang secara medis tak tersembuhkan. Penyakit-penyakit yang nyaris telah memakan habis seluruh daging saya, dan menyedot semua kekuatan fisik saya. Penyakit-penyakit, yang semua orang tahu apa prognosisnya. Dari keadaan seperti itulah, saya menulis. Bukan dari awang-awang.

Toh sikap saya itu tidak unik. Saya malah memperoleh kekuatan dari banyak orang, yang dalam penderitaan justru menemukan makna kehidupan. Salah satunya adalah sastrawan pemenang Hadiah Nobel, Alexander Solzhenitsyn. Dalam The Gulag Archipelago, ia menulis antara lain,

“Baru ketika aku berbaring di situ, di atas kasur jerami busuk milik penjara, untuk pertama kalinya aku merasakan di dalam diriku getaran-getaran kebaikan. Pelahan-pelahan, tersingkaplah kenyataan betapa garis pemisah antara kebaikan dan kejahatan itu, tidak terentang sebagai pembatas antar negara, atau antar kelas sosial, atau antar partai politik. Melainkan melintas di hati setiap orang; semua orang. Di situlah kusegarkan kembali jiwaku . seraya berkata tanpa ragu, Terberkatilah dikau, wahai penjara, karena telah berkenan hadir dalam hidupku!”

* * *

TUJUAN hidup manusia bukanlah untuk bernikmat-nikmat. Bahkan sebelum dosa hadir pun, dunia tidak dirancang sebagai “Disney World” atau “Dunia Fantasi”. Tetapi dunia di mana Allah menitipkan tanggungjawab yang luar biasa besar kepada manusia: menjaga serta memelihara ketertiban semesta (Kejadian 1:28)

Tuhan tidak merancang dunia yang membuat manusia rapuh dan lembek. Walau mungkin dunia seperti itulah yang kita idam-idamkan. Dalam hubungan ini, saya teringat akan nasib menyedihkan yang menimpa orang-orang Indian yang tinggal jauh di pelosok rimba Amazon. Ketika dalam waktu singkat, mereka mati hampir serentak dalam jumlah ribuan. Sebabnya ternyata “sepele” saja. Yaitu, virus influenza.

Lho kok? Ya, karena mereka tak pernah mengenal virus ini. Karenanya tubuh mereka tidak mempunyai kekebalan terhadapnya. Ini tidak menjadi soal, sampai kemudian datanglah para penebang hutan dari luar. Bersama traktor-traktor mereka, mereka juga membawa virus asing itu.

Padahal orang yang telah teruji seperti Ayub? Rabi Abraham Heschel, sebagaimana dikutip Philip Yancey, mengatakan, “Iman seperti Ayub tak mungkin tergoncang, karena iman itu sendiri lahir dari goncangan”.

Benarlah yang mengatakan, bahwa hidup kita bukanlah produk yang “sekali jadi”, melainkan suatu “proses menjadi”. Bergerak. Berkembang. Bertumbuh. Berubah. Dalam setiap proses pertumbuhan ini, satu unsur tak terhindarkan: kesakitan. Bertumbuh itu menyakitkan. Membingungkan. Menimbulkan ketidakpastian.

* * *

ALKITAB dengan konsisten menegaskan, bahwa kesakitan bukanlah yang terburuk. Para nabi Allah bahkan memperagakan ini di dalam kehidupan nyata mereka. Bacalah kisah nabi-nabi Elia, Yeremia, Hosea, Ayub! Sebuah komposisi besar selalu mengandung nada-nada minor. Sebuah lukisan agung selalu punya sisi kelabu. Sebuah novel maha karya disebut begitu karena unsur-unsur tragis dan ironis di dalamnya.

Berlatarbelakangkan semua ini, Philip Yancey berbicara mengenai DUA KESALAHAN. Dua kesalahan yang bisa mencelakakan. Kesalahan pertama adalah ketika kita melemparkan semua tanggungjawab kepada Allah, seraya melihat setiap kesakitan sebagai kehendak Tuhan. Sedang kesalahan kedua adalah sebaliknya. Ia berasumsi bahwa hidup bersama Allah akan membebaskan manusia dari kesakitan.

Mengenai yang pertama, rasanya tak perlu lagi penjelasan panjang lebar. Kitab Ayub adalah peringatan, BAHWA TAK SEORANG PUN BERHAK BERDIRI DI DEPAN SESAMANYA YANG MENDERITA, SAMBIL BERKATA, “INI ADALAH KEHENDAK ALLAH”.

Di dalam sejarah gereja, melemparkan seluruh tanggungjawab kepada Allah telah membawa akibat macam-macam. Di akhir Abad Pertengahan, banyak wanita dibakar hidup-hidup karena mengonsumsi obat penangkal sakit sewaktu melahirkan. Mereka dianggap murtad, sebab Alkitab mengatakan, “Dengan kesakitan engkau akan melahirkan anak-anakmu” (Kejadian 3:16). Mereka melawan kehendak Tuhan.

Begitu Edward Jenner selesai dengan vaksin cacar air-nya, ia mengalami kesulitan dengan para petinggi gereja, yang beranggapan bahwa vaksin itu adalah bentuk intervensi terhadap kehendak Allah. Sampai sekarang pun, beberapa sekte tetap menolak pengobatan moderen. Prinsip mereka adalah, Allah menghendaki mereka menderita, karena dosa-dosa mereka. Sebab itu, biarlah mereka menderita.

Sekarang saya hendak menegaskan: penyakit bukan “takdir”. Fatalisme bukanlah sikap iman kristiani yang benar. Allah tidak pernah menyukai kesakitan, seperti kita pun tidak menyukainya! Kalau pun Ia meletakkan realitas kesakitan di depan kita, itu adalah karena Ia ingin kita melawannya dan mengatasinya.

Barangsiapa masih meragukan ini, saya persilakan membaca kembali dengan teliti perumpamaan “Orang Samaria yang Murah Hati” (Lukas 10) atau perumpamaan “Kambing dan Domba” (Matius 25). Di situ amat jelas apa yang dikehendaki Allah.

* * *

SEKARANG menyangkut salah kaprah kedua. Akhir-akhir ini, dari mimbar-mimbar gereja maupun dari layar kaca, dengan gencar diperkenalkan suatu kepercayaan, seolah-olah kesembuhan pasti akan terjadi pada setiap orang, asal saja mereka mau meng”klaim” itu dari Allah.

Sedikit pun saya tidak bermaksud meragukan adanya mujizat penyembuhan. Saya mempercayainya dan mengharapkannya! Namun demikian, saya menolak dengan tegas keyakinan bahwa ini berlaku setiap waktu bagi setiap orang percaya. No way!

Dalam banyak hal, “percaya” dan “tidak percaya”, tak banyak berbeda. Misalnya, angka mortalitas keduanya sama persis: 100 persen. Orang kristen mati, yang tidak kristen pun mati. Mata orang Kristen -seperti yang lain – pada satu saat perlu kaca mata. Tulang-tulang mereka sama-sama punya potensi untuk keropos. Daging di tubuh mereka sama-sama akan hancur bila digilas truk atau kereta api.

Yang sering tidak kita sadari adalah, apakah dampak dari penekanan yang berlebih-lebihan kepada mujizat penyembuhan, terhadap mereka – yang jumlahnya pasti jauh lebih besar – yang rindu tapi tidak mengalaminya? Apa yang berkecamuk di dalam hati seorang yang lumpuh dari kursi rodanya, ketika melihat rekan senasibnya melompat-lompat kegirangan, sambil berteriak “Aku sembuh!” Tidakkah ia akan sangat kesepian, merasa ditinggalkan? Dan dengan frustrasi mencari, apa yang salah dengan imanku?

“Teologi Kesehatan dan Kemakmuran” ini sangat berbeda dari apa yang ditulis oleh Paulus kepada Timotius. Ketika ia berkata, “Setiap orang yang mau hidup beribadah dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya” (2 Timotius 3:12). Berdasarkan ini, baiklah saya tegaskan: “SAKIT TIDAK BERARTI TIDAK ROHANI”! Dibaptis dengan air bukan berarti disemprot dengan cairan anti kuman dan anti sakit!

Bagi Anda masih ragu, saya persilakan Anda membaca Ibrani pasal 11. Di sini, penulis mendaftar pengalaman tokoh-tokoh iman sepanjang zaman. Sebagian besar dari tokoh-tokoh ini mengalami penyertaan Tuhan yang ajaib. Yusuf, Musa, Rahab.

Tapi jangan lupa membaca ayat-ayat berikutnya, yang menyatakan, “Ada pula yang diejek dan didera, bahkan yang dibelenggu dan dipenjarakan. Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang. Mereka mengembara dengan berpakaian kulit domba dan kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan” (Ibrani 11:36-37). Bukan naik limousine dan hidup makmur! Namun begitu mereka toh tidak kurang berimannya dibandingkan dengan yang lain.

David Watson adalah seorang pendeta dan penulis dari Iggris. Ketika ia diberitahu bahwa ia menderita kanker usus, ia mengumpulkan teman-temannya dan membentuk kelompok doa. Mereka berdoa dengan keyakinan penuh, bahwa Watson akan mengalami mujizat penyembuhan. Watson pun kemudian menjadi tokoh terkemuka gerakan kharismatik di Inggris.

Tapi ternyata ia tidak sembuh juga. Satu bulan terakhir dari hidupnya, ia pakai untuk menulis sebuah buku, yang diberinya judul Fear No Evil. “Tidak Gentar Menghadapi yang Jahat” Di situ ia bersaksi, bahwa yang ia butuhkan adalah iman yang menopang, seperti iman Ayub. Iman yang mengajarkan kepadanya “seni menghadapi maut”. Di mana mati secara baik, adalah prestasi terbaik — bukan kegagalan — yang dapat dicapai oleh orang beriman. Dan pula iman yang tidak silau dalam kemakmuran!

Dunia Tanpa Kesakitan?
Oleh Eka Darmaputera

Ada waktu-waktu tertentu, ketika hidup kita berlangsung mulus. Sepertinya bumi tempat kaki kita berpijak, subur dan hijau semata. Matahari bersinar cerah dan angin sejuk bertiup lembut. Pada saat-saat seperti ini, tidak terlalu sulit untuk mempercayai kebaikan dan kasih Allah.

Namun siapa pun tahu bahwa matahari yang sama itu pula yang telah memanggang Afrika menjadi hamparan gurun dan membuat jutaan orang kelaparan. Bahwa angin yang itu-itu juga, yang tiba-tiba bisa berubah jadi puting beliung, siap menelan apa saja dan siapa saja ke perutnya. Tatkala ini semua berlangsung, masih mampukah kita dengan jujur memuji kebaikan dan kasih Allah?

Tapi apakah kita mampu atau tidak mampu, alam memang tak pernah berwajah satu. Ada kalanya ia laksana ibu yang membelai kepala kita dengan penuh kasih sayang. Kali lain, ia berubah menjadi saudara kita yang liar dan beringas. Bumi kita, walau benar ciptaan Allah, adalah ibarat “Dasamuka”-berwajah sepuluh-sebagian besarnya mengerikan.

Sebut saja makhluk yang bernama “manusia”. Spesies ini telah menampilkan orang-orang berhati mulia seperti Gandhi dan Teresa, orang-orang berotak cemerlang seperti Newton dan Einstein, dan orang-orang berdaya cipta luar biasa, seperti Ismail Marzuki dan Affandi. Namun, dari rahimnya pula lahir monster-monster kemanusiaan seperti Hitler dan Idi Amin; serta teroris-teroris berdarah dingin seperti Ali Imron dan Amrozy.

Yang ingin saya katakan adalah semua realitas yang ada di sekitar kita maupun di dalam diri kita senantiasa berwajah ganda, termasuk di dalamnya adalah “RASA SAKIT”.

Di satu pihak, “kesakitan” adalah sahabat yang dapat diandalkan. Yang selalu dan segera memberi peringatan, ketika bahaya mengancam. Inilah yang tampak bila kita meneropong “kesakitan” melalui sebuah “mikroskop”-kasus demi kasus, orang demi orang.

Seperti kesaksian berikut, “Mula-mula sih cuma seperti kesemutan biasa. Tapi begitu saya periksakan ke dokter, dokter mengatakan bahwa saya menderita penyakit jantung akut, yang mesti segera dioperasi. Kesemutan itu sungguh telah menolong saya!”. “Untung, ada “rasa sakit”!”, bukan?

Namun, tinggalkanlah sejenak mikroskop Anda, lalu naiklah ke “ketinggian” sambil menengok ke sekeliling Anda! Maka yang Anda saksikan adalah kelaparan massal, pembantaian etnik, jutaan anak jalanan yang tanpa masa depan, pengidap HIV/AIDS yang tanpa perawatan, penderita kanker terminal yang mengerang kesakitan. Menyaksikan semua ini, bukankah kita melihat wajah “kesakitan” yang lain?

* * *

PERSOALANNYA bukanlah sekadar mengapa “rasa sakit”-yang merupakan bagian dari sistem penyangga kehidupan-bisa “membandel” keluar dari sistem. Sehingga apa yang semula berfungsi begitu “positif”, berubah menjadi “destruktif”.

Namun, lebih dalam dari itu, adalah pertanyaan-pertanyaan abadi. Mengapa Atmo sakit, tapi Bimo tidak? Mengapa “aku”, mengapa bukan “dia”? Adakah alasan yang masuk akal? Maukah Engkau menjelaskannya, Tuhan?

Di sini keluhan seorang pemazmur menjadi sangat relevan. “Aku cemburu kepada pembual-pembual, sebab kesakitan tidak ada pada mereka. Sehat dan gemuk tubuh mereka. Mereka tidak mengalami kesusahan manusia. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi. (Rasa-rasanya) sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih” (Mazmur 73:3-5; 13-14). Why, my Lord, why?

Sajak William Blake, sebagaimana dikutip oleh Philip Yancey, dengan telak menyimpulkan sisi getir dari eksistensi manusia sejak kelahirannya. Tulisnya, “Ibuku mengerang, ayahku menangis girang, tatkala ke dunia penuh ancaman aku dilemparkan”

“Kesakitan” (mungkin) memang dimaksudkan sebagai sistem pemberi tanda bahaya yang efektif. Namun jelas, ia telah berubah liar tak terkendali.

Karena itu, menurut Yancey, barangkali kita membutuhkan dua kata yang berbeda. Yang pertama adalah “kesakitan” (= pain) untuk yang menunjuk kepada sistem perlindungan tubuh. Dan yang kedua adalah “penderitaan” (= suffering) untuk yang memperlihatkan sisi kelam kenyataan hidup manusia.

Menurut saya, usul ini masuk akal! Sebab pada kasus para pasien lepra, mereka tidak merasakan “kesakitan”, tapi toh mengalami banyak sekali “penderitaan”. Sementara itu, sekalipun tidak semua orang mengalami “rasa sakit” yang akut, setiap orang pasti mempunyai “penderitaan” atau “salib”nya masing-masing, kekurangan pribadi, hubungan yang pecah, kenangan pahit masa lalu, rasa bersalah yang mengejar.

Pertanyaan kita adalah, “Di manakah Allah ketika rasa sakit menerpa tanpa henti?” “Bagaimana mungkin Ia membiarkannya?” “Katakanlah, Tuhan, apa gunanya?”

* * *

SELAMA berabad-abad, para filsuf sudah memperdebatkan pertanyaan, “Apakah bumi kita ini sudah merupakan kemungkinan yang terbaik?” Artinya, apakah Allah tidak mungkin lagi membuat yang lebih baik? Sebab, ujar Voltaire dalam Candide, “Jika yang seperti ini sudah merupakan yang terbaik, lalu bagaimana lagi dengan yang lainnya?”

Ratusan tahun yang lalu, teolog-teolog raksasa, seperti Agustinus dan Thomas Aquinas, dengan mantap dan seolah-olah tanpa beban menegaskan bahwa Tuhan memang menciptakan bumi kita ini sebagai yang terbaik. Sekarang-menyaksikan parahnya kerusakan alam dan penderitaan manusia-, saya kira hanya mereka yang naif dan picik saja yang dapat dengan mudah membuat penegasan seperti itu.

Namun, toh saya ingin menegaskan satu hal. Benar, dunia kita bukanlah yang terbaik. Namun bila yang Anda pikirkan adalah bahwa dengan menyingkirkan semua bentuk “rasa sakit” dan “penderitaan”, maka akan ada hidup yang ideal, Anda salah sangka!

Misalnya, mengapa Allah tidak melenyapkan saja semua bakteri yang ada? Eit, tunggu dulu! Sebab ini bisa menciptakan malapetaka yang jauh lebih besar. Menurut Yancey, sekarang ini ada 24.000 jenis bakteri telah berhasil diidentifikasikan. Dari antaranya, hanya sedikit sekali yang menyebabkan penyakit. Sebaliknya, sekiranya semua bakteri dibasmi habis, maka makanan yang kita telan pun tidak akan dapat dicerna oleh tubuh.

Bagaimana kalau taifun? Yancey mencatat bahwa India dan Bangladesh-dua negara yang paling sering dilanda bencana taifun-telah memperoleh pelajaran yang pahit: tidak ada taifun sepanjang tahun, hujan pun enggan turun sepanjang tahun!

Ketika saya masih remaja, saya pernah mengalami patah kaki. Padahal saya ingin sekali menjadi pemain bola yang hebat. Karena itu saya berkata, “Andaikata saja tulangku lebih kuat!” Waktu itu saya tidak menyadari konsekuensi keinginan saya itu. Bahwa tulang yang lebih kuat juga berarti lebih berat. Lebih berat akan membuat gerak tubuh saya menjadi lebih lamban. Bila lamban, mana mungkin saya bermain bola?

Saya bayangkan, betapa Tuhan harus membuat pilihan-pilihan sulit ketika merancang tubuh manusia. Mana yang lebih baik: kuat tapi lamban, atau lincah tapi rapuh? Dunia yang sempurna-juga dunia yang tanpa kesakitan-itu tidak ada. Yang ada hanyalah pilihan-pilihan. Maksud saya, betapa pun tidak sempurnanya hidup kita, apakah kita punya pilihan atau usulan yang lebih baik? Anda punya?

* * *

JADI, benarkah Allah yang bertanggung jawab atas penderitaan dan kesakitan manusia? Jelaslah bahwa Allah sendiri melakukan pilihan. Dan Ia mengambil keputusan, termasuk segala risikonya, yaitu menciptakan alam dengan “hukum kodrat” yang pasti, sekaligus menciptakan manusia dengan “kehendak bebas”.

Kayu misalnya diciptakan oleh Allah keras dan padat. Ini “hukum kodrat”nya. Manusia tidak bisa mengubah “kodrat” ini. Tapi “kehendak bebas” manusia, memberinya pilihan untuk memanfaatkan kayu yang keras itu untuk membangun rumah atau untuk melukai sesamanya.

Tentu saja Allah bisa-mengetahui maksud jahat manusia-lalu mengubah kayu yang keras itu menjadi seperti spons. O, bisa! Tapi ini sengaja tidak dilakukan-Nya. Pertama, karena Ia menghormati “hukum kodrat” yang Ia tetapkan sendiri. Dan kedua, karena Ia juga mau menghormati “kehendak bebas” manusia, yang risikonya memang adalah bebas melakukan kebaikan tapi bebas pula melakukan kejahatan.

Ini, saya tahu, menciptakan banyak persoalan. Tapi sekali lagi, apakah Anda punya alternatif yang lebih baik ketimbang pilihan yang dibuat Allah?

Jadi, apakah Allah-lah yang bertanggungjawab atas penderitaan dan kesakitan manusia di muka bumi? Secara tidak langsung, “ya”. Sebab tak ada yang bisa terjadi di muka bumi ini, di luar pengetahuan Allah. Tapi saya mohon dengan sangat Anda ingat baik-baik, bahwa memberikan anak Anda hadiah ulang tahun berupa sebuah sepeda-yang memungkinkannya untuk jatuh dan terluka-adalah sesuatu yang sangat berbeda dibandingkan dengan bila Anda secara sadar dan sengaja membanting anak Anda, dengan maksud melukainya.

Jangan berilusi bahwa ada dunia yang bebas dari kesakitan. Tidak sempurna, memang, tapi kita tak punya pilihan lain.

Karena itu yang paling bijak adalah: pakailah “kehendak bebas” kita sebaik-baiknya. Andaikata kita tidak dapat mengobati secara tuntas luka kita, paling sedikit janganlah memperburuknya. Tidak memperparah luka, ini sepenuhnya ada dalam batas kemampuan dan merupakan tanggung jawab kita! *

Jika Aku Lemah, Aku Kuat
Oleh Eka Darmaputera

Paul Tournier-seorang dokter, konselor, dan penulis berkebangsaan Swiss-dalam bukunya Creative Suffering, sebagaimana dikutip oleh Philip Yancey, mengungkapkan rasa “surprise”nya setelah membaca sebuah artikel yang berjudul “Orphans Lead the World” atau “Para Yatim Piatu (yang) Memimpin Dunia”.

Artikel ini melakukan survei atas 300-an tokoh, yang dinilai mempunyai dampak besar dalam perjalanan sejarah dunia. Setelah melakukan studi perbandingan yang mendalam, para peneliti itu menemukan adanya persamaan yang sangat menarik di antara tokoh-tokoh itu.

Yaitu, bahwa semua mereka telah dibesarkan sebagai yatim piatu. Baik secara aktual atau pun secara emosional. Maksudnya, mempunyai pengalaman buruk di masa kanak-kanak mereka. Termasuk dalam daftar tersebut, adalah nama-nama besar seperti Alexander Agung, Julius Caesar, Maximilien Francois Marie Isidore de Robespierre, George Washington, Napoleon Bonaparte, Ratu Victoria, Golda Meir, Adolf Hitler, Vladimir Ilyich Lenin, Jozef Stalin, dan Fidel Castro.

Tournier sendiri adalah seorang yatim piatu. Bahkan setelah kematian istrinya, ia berkata, ia kembali merasa sebagai yatim piatu lagi di usia tuanya. Tapi kali ini, pengalaman duka tersebut telah membawa perubahan besar baik dalam kepribadian, sikap, maupun pandangan hidupnya. Perubahan yang positif.

Sebelumnya ia menilai setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya-apakah itu keberhasilan atau kegagalan-, sebagai baik atau jahat, pada dirinya. Terserang influenza, misalnya, dengan sendirinya, adalah buruk. Sebaliknya, makan enak adalah baik. Kini ia menyadari, bahwa secara moral peristiwanya sendiri adalah netral. Tidak baik atau buruk pada dirinya. Terserang influenza lalu terpaksa tinggal di rumah, yang ternyata membuat ia terhindar dari kecelakaan kereta api yang fatal, adalah baik. Sebaliknya, makan enak tapi kemudian membuat kadar kolesterol naik drastis, adalah buruk. Iya, kan? Sesuatu itu baik atau buruk, tidak tergantung pada peristiwanya, melainkan pada manusianya.

* * *

TOURNIER juga menulis, “Langka sekali kita menjadi tuan atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Sering sekali, hal-hal yang tidak kita maui dan tidak kita sukai, itulah yang justru terjadi. Dan kita hanya bisa menerimanya. Namun begitu, bagaimana kita menyikapi dan meresponi peristiwa-peristiwa yang tidak kita pilih itu, adalah tanggungjawab kita sepenuhnya. Penderitaan an sich pada dirinya tidaklah bermanfaat. Apakah ia kemudian bermanfaat atau tidak, tergantung dari sikap kita. Di situlah tes yang sesungguhnya!

Apakah reaksi yang dikembangkan adalah reaksi positif, aktif, kreatif? Bila demikian, kelemahan bisa diubah menjadi sumber kekuatan. Kegagalan bisa dijadikan titik awal keberhasilan. Dan kesakitan tubuh menjadi wahana bagi pertumbuhan rohani.

Sebaliknya bila responnya negatif, maka kesakitan akan memadamkan semangat dan mematikan vitalitas. Pertolongan yang tepat serta diberikan pada saat yang tepat, akan amat menentukan perjalanan hidup yang bersangkutan selanjutnya. Tournier melihat tugasnya yang utama adalah menolong orang agar mampu memanfaatkan kesakitan menjadi pendorong perubahan yang positif.

* * *

ANDA pasti kenal buah durian. Orang baru dapat menikmati manfaat dan kelezatan buahnya, setelah membelah kulitnya yang tebal. Tindakan itu pasti amat “menyakitkan”, tetapi tidak membinasakan. Sebaliknyalah! Ia membebaskan buah durian itu melepaskan segenap potensinya.

Martin Luther King Jr. juga berulang-ulang mengatakan hal yang serupa. “Apa yang tidak menghancurkanku, menguatkanku”, katanya. Dan pasti begitu pula sikap para tokoh besar dunia. Gandhi, Solzhenitsyn, Sakharov, Tutu, Mandela.

Dengan sengaja MLK, Jr. memilih Alabama, yang terkenal dengan gubernur dan sheriff-nya yang amat rasialis, sebagai pusat perjuangannya melawan diskriminasi. Di situ, ia dipukuli, dipenjarakan, dan diperlakukan amat tidak manusiawi. Tapi ia menerimanya dengan sadar dan sabar. Ia yakin, bahwa hanya bila orang melihat dan mengalami sendiri jahatnya rasialisme dalam bentuknya yang paling ekstrem, mereka akan tergerak untuk berjuang. Tapi tidak, selama keadaan masih bisa ditolerir.

“Kekristenan,” katanya, “menekankan bahwa salib selalu mendahului mahkota. Orang Kristen sejati mesti mau memikul salib. Kalau perlu, sampai salib itu meninggalkan parut luka yang perih. Sebab kota kebahagiaan cuma dapat dimasuki melalui jalan penderitaan”.

* * *

PENGALAMAN-PENGALAMAN kongkret para tokoh iman tersebut. membuat saya mampu melihat ajaran Yesus yang “aneh” itu – “Kotbah di Bukit” – dalam terang yang baru. Dulu saya berfikir bahwa kata-kata Yesus, “Berbahagialah mereka yang miskin, yang berdukacita, yang lemah lembut, yang teraniaya”, dan sebagainya itu, adalah kata-kata penghiburan bagi pengikut-pengikut-Nya yang nasibnya kurang beruntung di dunia ini.

Seolah-olah Yesus ingin mengatakan, “Sebab kalian miskin, kesehatan kalian buruk, dan hati kalian selalu berduka, maka Aku bermaksud menghibur kamu. Aku juga menjanjikan berkat untuk hidup kalian di masa mendatang. Mudah-mudahan kalian lebih lega dan merasa “enakan” sekarang”.

Tapi, saudara, Yesus tidak menjanjikan sesuatu untuk masa yang akan datang saja. Ia berkata, “Berbahagialah yang .” ; bukan “Berbahagialah nanti .”. Paulus juga mengalami paradoks iman itu sekarang, bukan baru nanti. “Justru dalam kelemahanlah kuasa (Tuhan) menjadi sempurna “. “Jika aku lemah, maka aku kuat” (2 Korintus 12:9,10).

Adalah reaksi yang normal dan wajar, bila orang menerima kesakitannya dengan rintihan, kegetiran, bahkan kegeraman. Karena itu, bila respon dan reaksi orang justru sebaliknya, tentu kita bertanya-tanya kepingin tahu. Apa sebabnya? Apa rahasianya?

Teologi Kotbah di Bukit, kadang-kadang disebut orang sebagai “Teologi Jungkir Balik” (= Theology of Reversal). Bagi yang sinis, sering diejek sebagai “Teologi Terbaik-balik”. Tapi bukan cuma di sini Yesus mengajarkan hal-hal yang menjungkir-balikkan norma-norma yang lazim. Ia juga mengatakan, “Yang pertama akan menjadi yang terakhir” (Matius 19:30); “Barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan” (Lukas 14:11); “Yang terbesar di antara kamu harus menjadi yang paling muda; dan yang memimpin menjadi pelayan” (Lukas 22:26). Dan sebagainya.

* * *

MENGAPA ini? Apa sih istimewanya “orang-orang miskin” dan “orang-orang menderita”, sehingga memperoleh tempat dan perhatian khusus dari Allah? Seorang biarawati Katolik, Monica Hellwig, sebagaimana dikutip oleh Philip Yancey, mendaftarkan “nilai lebih” penderitaan dan kesakitan, tanpa memuja penderitaan dan kesakitan itu sendiri.

Ada sepuluh. (1) Penderitaan membuat orang menyadari kebutuhannya akan penebusan. Membuat ia terbuka untuk Injil. (2) Kesakitan membuat orang sadar akan tergantungannya kepada Allah dan kepada sesamanya yang sehat. Tapi juga saling ketergantungannya dengan saudara-saudaranya senasib. (3) Penderitaan membuat orang tidak mempertaruhkan pengharapan mereka kepada benda-benda, yang cuma memberikan kepuasan semu dan sementara. (4) Penderitaan mendidik orang untuk tidak melebih-lebihkan kemandiriannya, melainkan belajar bersikap rendah hati. (5) Penderitaan membuat orang lebih menekankan ko-operasi (= kerjasama) ketimbang kompetisi (= persaingan). (6) Penderitaan memampukan orang membedakan kebutuhan dari kemewahan. (7) Penderitaan mengajarkan kesabaran. (8) Penderitaan memungkinkan orang mengenali perbedaan antara ketakutan yang wajar dan yang berlebihan. Dan (10) Penderitaan membebaskan orang untuk merealisasikan pangilan jiwanya. Karena tidak mempunyai banyak, yang bersangkutan tidak takut kehilangan banyak.

* * *

SADARLAH saya, mengapa tokoh-tokoh iman harus dan telah melampaui begitu banyak kesakitan dan penderitaan. Sebabnya adalah, karena ketergantungan kepada Tuhan, kerendahan hati, kesederhanaan, kerjasama, ketidak-tergantungan kepada kemuliaan dunia, adalah unsur-unsur mutlak bagi spiritualitas. Kualitas yang sulit diperoleh dari mereka yang bergelimang dalam kelebihan dan kemewahan bendaniah..

Masyarakat Korintus adalah masyarakat yang memuja penampilan eksternal luar ketimbang kualitas internal. Tapi masyarakat mana sih yang tidak? Toh Paulus bangga dengan “kelemahan”nya. Menjadikan salib sebagai pusat pemberitaannya-salib, yang dianggap “kebodohan” dan “kelemahan”.

Sejarah hidupnya sendiri telah mengajar dia mengalami, betapa kesakitan dan penderitaan adalah wahana yang efektif bagi anugerah Allah. Jika aku lemah, maka aku kuat. Semakin kita menyadari kelemahan kita, semakin kita akan mencari Allah. Dan semakin kita bergantung kepada-Nya, semakin kuat Ia akan mendekap kita.

Kesakitan: Belajar dari Ayub
Oleh Eka Darmaputera

Menyimak penjelasan Alkitab mengenai sebab-musabab kesakitan, wah, bisa bingung kita. Sebab kadang-kadang berbicara begini, kadang-kadang berbicara begitu. Itu, bila kita cuma membaca huruf-hurufnya saja. Tapi kalau kita mau sedikit lebih bersusah-payah, yaitu berusaha menangkap jiwanya, kesan kita pasti berbeda.

Pembahasan yang paling mendalam dan paling menyeluruh di dalam Alkitab mengenai kesakitan dan penderitaan, ternyata cuma memunculkan satu kesimpulan saja. Tidak dua, tiga atau beberapa. Kesimpulan itu, dapat kita temukan di kitab AYUB. Sebuah kitab yang amat tua. Tapi persoalan yang digelutinya, tak pernah lapuk oleh usia. Sebab yang dibahasnya adalah persoalan semua orang; persoalan kita; kini, di sini.

Dalam kitab ini, Ayub diperkenalkan sebagai seorang yang “saleh dan jujur; takut akan Allah dan menjauhi kejahatan” (1:1). Anehnya, ia juga kaya raya. Ini yang barangkali yang berbeda dengan realitas di zaman kita, bukan? Sebab di zaman kita, mana mungkin bisa kaya raya, kalau “saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan”!

Melalui tokoh kita ini, Allah ingin memperlihatkan tipe seorang yang “ideal” dan berkenan di hati-Nya. Karena itu, tulis Philip Yancey, kalau ada manusia di muka bumi ini yang tidak pantas menderita akibat perbuatannya, orang itu adalah Ayub.

Tapi apa yang terjadi? Dalam sekejap semua kekayaan Ayub lenyap. Seluruh anggota keluarganya musnah, kecuali istrinya. Tapi kemudian terbukti, istrinya itu cuma menambah depresi sang suami. Lalu kesakitan menjamah langsung tubuh Ayub. Ia dibuat menderita sangat oleh penyakit kulit yang hebat, yang menyerangnya dari ubun-ubun kepala sampai ke telapak kaki.

Hanya dalam hitungan hari — mungkin jam — seluruh kutuk neraka seolah-olah ditumpahkan ke setiap relung kehidupan Ayub. Tanpa ada yang disisakan atau di”dispensasikan”. Namun toh dalam bayangan saya, yang paling menyakitkan bagi Ayub, bukanlah yang saya sebutkan itu. Melainkan “rasa ditinggalkan”; “rasa dikhianati”.

* * *

BETAPA tidak. Selama ini ia percaya dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah yang pengasih dan adil. Tapi apa yang ia alami? Seratus persen bertolak belakang! Karena itu, seperti kita, wajarlah bila yang secara spontan meluap dari hatinya dan terucap dari mulutnya, adalah pertanyaan: “Mengapa semua ini?” Mengapa saya? Apa salahku? Apa sih yang sesungguhnya dimaui Tuhan?

Kepada Ayub disajikan dua pilihan jawaban, yang semuanya ditolaknya mentah-mentah. Pilihan pertama diberikan oleh teman-temannya. Kata mereka, “Benar, Yub, melalui kesakitanmu Tuhan memang ingin mengatakan sesuatu. Sebab tidak ada akibat tanpa sebab, ‘kan? Tuhan tidak mungkin bertindak sembarangan. Kepada yang setia, Ia menyediakan pahala. Kepada yang berdosa, Ia menyediakan hukuman. Fair! Karena itu, Yub, demi kebaikanmu sendiri, berhentilah mengeluh. Akui dosa-dosamu!”

Pilihan kedua dikemukakan oleh sang istri. “Ah, sudahlah, Bang, berhentilah merajuk! Sebab apa kubilang? Tuhan yang Abang ikuti dengan setia itu, ternyata tidak setia, bukan? Juga – berbeda dengan yang Abang selalu bilang – tidak pengasih dan penyayang. Omong kosong semua itu, bah! Ia sama saja seperti dewa-dewa lain, senang pamer kuasa dan gemar mempermainkan manusia. Karena itu: “Kutukilah Allahmu dan matilah!” (1:9)

Ayub sempat “grogi” juga. Nyaris terhanyut ke dalam pemikiran, bahwa Allah itu sadis dan semena-mena. Senang “mengolok-olok keputusasaan orang yang tidak bersalah” (2:23). Dan sayangnya, “tidak ada wasit di antara kami, yang dapat memegang kami berdua!”, guna memberi keadilan (2:33). Sehingga kejahatan tidak selalu mendapat hukuman, sebaliknya kebaikan tidak otomatis mendatangkan ganjaran.

* * *

SUNGGUH menarik mengikuti perdebatan antara Ayub dan teman-temannya. Emosi Ayub sering meledak-ledak. Sebaliknya, sahabat-sahabatnya tetap tenang, dingin, rasional. Pandangan teologi mereka pun jernih, teguh, “sehat” . Orang sering tergoda lebih sepakat dengan para sahabat, ketimbang dengan Ayub.

Menurut Yancey, ini wajar semata.. Sebab, katanya, argumentasi para sahabat itu memang amat mirip dengan pandangan konvensional orang-orang Kristen sekarang! Boleh saja kita katakan, hati kita tertuju kepada Ayub. Tapi betapa sering, tanpa kita sadari, sikap kita adalah sikap para sahabat!

Secara fundamental, Ayub menolak pemahaman teologi mereka. Ia tetap bersikeras bertahan, bahwa tidak seharusnya dan tidak semestinya ia mengalami kesakitan seperti itu. Ia memang tidak lebih suci dibandingkan orang-orang lain, tapi pasti juga tidak lebih berdosa. Apalagi bila dibandingkan dengan mereka yang sehat dan makmur, tapi sebenarnya koruptor, munafik, dan penjilat.

Namun demikian, ini tidak berarti ia punya alasan yang sah untuk meninggalkan Allah. IA MEMANG TIDAK LAYAK MENDERITA, TAPI ALLAH TETAP LAYAK MENERIMA KESETIAANNYA!

Di sinilah keindahan, keunikan dan kehebatan isi kitab Ayub! Yaitu bahwa kesetiaan kita kepada Allah, tidak boleh kita gantungkan kepada apakah Ia memberikan yang kita inginkan atau tidak. Ini adalah mental pengemis dan pengamen murahan! Kualitas iman yang paling rendah! Ketika senang, Tuhanku sayang; tapi ketika sedikit saja dikecewakan, Tuhanku malang.

Yang menarik adalah, Tuhan lebih berpihak kepada Ayub ketimbang kepada para sahabat. Ya, walaupun para sahabat itu dengan gigihnya membela Allah. Seperti kata Gus Dur, Allah tidak perlu dibela! Allah berkata, “Murka-Ku menyala terhadap kalian, karena kalian tidak berkata benar tentang Aku, seperti hamba-Ku Ayub” (42:7).

Kalau benar teologi para sahabat itu mirip dengan teologi kita sekarang, maka penilaian Allah ini punya implikasi serius. Yaitu, secara tidak langsung, Allah juga mempersalahkan kita! Kita mesti segera mengintrospeksi diri serta melakukan koreksi. Untuk itu, kita perlu mengetahui dulu, apa sebenarnya isu yang paling pokok dan pesan yang paling utama dari kitab Ayub.

* * *

MENURUT Philip Yancey, isu paling pokok dari kitab ini adalah: APAKAH MANUSIA BENAR-BENAR BEBAS? Atau, serba tergantung dan terkondisi?

Setan mewakili pendapat yang mengatakan, bahwa manusia itu tidak bebas melainkan serba terkondisi. Manusia, menurut Setan, terkondisi untuk taat dan setia kepada Allah. Tidak benar-benar mengasihi Allah! “Cabutlah semua kemudahan dan fasilitas, dalam sekejap ia pasti akan berbalik melawan Allah!”.

Sebaliknya Allah hendak membuktikan, bahwa kebebasan itu ada. Bahwa kasih dan kesetiaan Ayub kepada Allah, adalah hasil pilihan dan keputusan yang bebas. Ada atau tidak ada fasilitas – bahkan di tengah penderitaannya yang ekstrem –, Ayub tetap akan memperlihatkan kesetiaan dan ketaatannya kepada Allah!

Kisah Ayub yang sepintas terasa sangat tragis, adalah ajang pembuktian siapakah yang benar: Tuhan atau Setan? Manusia itu punya kehendak bebas, atau tidak? Apakah ada cinta yang tulus, tanpa pamrih dan tanpa syarat, atau selalu ada “udang di balik batu?” Sekiranya Ayub sampai murtad, ini berarti Iblis menang. Iman yang tulus itu tidak ada. Kasih yang tanpa pamrih juga tidak ada.

* * *

TERBUKTI Ayub – dengan segala kepahitan dan kegetirannya – berhasil mempertahankan loyalitasnya. Dan ini sangat dihargai oleh Tuhan. Sebab Ia memang mengharapkan orang-orang yang MENCARI DIA, BUKAN TERUTAMA KARENA PEMBERIAN-NYA. TETAPI SEMATA-MATA KARENA DIA ADALAH DIA — ADA ATAU TIDAK ADA YANG DIBERIKAN-NYA.

Tuhan menginginkan iman berkualitas nomor satu. Orang-orang Kristen yang tidak ber”mental pengemis”, yang mendekat hanya karena ada yang diharap. Melainkan orang-orang yang ber”mental patriot”. Orang-orang Kristen yang dengan tulus berkata, “Saya rasa tidak sepantasnya saya harus menanggung kesakitan ini. Tapi bagaimana pun, Tuhan tetap pantas menerima kasih dan kesetiaan saya. (Sebab) apakah saya mau menerima yang baik dari Allah, tapi tidak mau menerima yang buruk? (1:10)”.

Dengan latar belakang pemikiran demikian, seharusnya pahamlah kita sekarang, mengapa Tuhan membiarkan kita hidup di tengah-tengah dunia yang “tidak fair”. Kita tentu memimpikan sebuah dunia yang serba “fair”, di mana yang baik diberkati, dan yang jahat dibasmi. Dan anak-anak Tuhan yang baik tak usah menderita. Fair, bukan?

Ya. Tapi bila “dunia yang fair” seperti itulah yang Ia karuniakan, maka Tuhan tidak ubahnya akan seperti orang tua, yang tak pernah membiarkan anaknya belajar berjalan sendiri, karena takut anaknya jatuh dan terluka. Ia mengurung anaknya di dalam kamar yang “aman”. Di mana di situ tersedia lengkap makanan, permainan dan semua kebutuhan. Kecuali kebebasan.

Aman dan nyaman. Tapi Anda pasti bisa menebak, anak macam apa yang akan dihasilkan oleh “Allah yang fair” seperti itu. Menjadi anak seperti itukah, harapan Anda? Dunia dan kehidupan seperti itukah, yang Anda idam-idamkan? Atau sebuah dunia yang mungkin tidak “fair”, dunia yang mungkin sarat dengan penderitaan – dunia Ayub — , tapi dunia di mana cinta yang tulus dan merupakan hasil keputusan bebas — bukan cinta otomatis — dimungkinkan?

Kesakitan, Belajar dari Yesus
Oleh Eka Darmaputera

Renungan kita minggu lalu kita akhiri dengan mengatakan dua hal. Pertama, kesakitan dapat bersumber pada kesalahan kita sendiri. Artinya, apa yang kita buat, senantiasa punya akibat. Kitab Amsal penuh pernyataan-pernyataan mengenai ini.

Misalnya, “Kemalasan mendatangkan tidur nyenyak, dan orang yang lamban akan menderita lapar” (Amsal19:15). Namun sebaliknya, “Muliakanlah Tuhan dengan hartamu dan dengan hasil pertama segala penghasilanmu, maka lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah, dan bejana pemerahannya akan meluap dengan air buah anggurnya” (Amsal 3:9-10). Kejujuran, ketulusan dan kemurahan hati akan menghasilkan kebaikan. Sedangkan kecurangan, tipu daya dan keserakahan akan memberikan yang sebaliknya.

Apakah prinsip Perjanjian Lama ini masih relevan dan berlaku sampai sekarang? YA, walaupun dalam jangka pendek, kejujuran, misalnya, justru menimbulkan banyak persoalan. Tapi yang penting ‘kan siapa yang akan tertawa paling akhir, bukan?

Sampai kapan pun, saya yakin, hukum “perbuatan tertentu mendatangkan akibat tertentu”, tidak pernah kadaluarsa. Membangun pabrik mercon di tengah pemukiman penduduk selalu berbahaya. Tiga kali sehari, selama bertahun-tahun, hanya mengonsumsi hamburger plus kentang goreng, minumnya selalu wiski atau cognac, sambil menyedot asap rokok tiga bungkus sehari, pasti fatal akibatnya. Prinsip ini berlaku untuk semua orang — Kristen maupun bukan.

* * *

BAGAIMANA dengan prinsip kedua, bahwa Tuhan-lah penyebab mala-petaka manusia, karena dengan itulah Ia menghukum Israel atas dosa-dosa mereka? Apakah prinsip ini masih “valid” dan berlaku bagi kita sekarang?

Menurut Philip Yancey, tidak serta merta. Mengapa? Karena, menurutnya, hubungan “perjanjian” (= covenant) antara Allah dan Israel itu “unik”. Tak ada duanya. Seperti tutur Musa kepada Israel, “Engkaulah yang dipilih oleh Tuhan, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya” (Ulangan 7:7).

Janji kepada Israel tidak serta merta bisa kita klaim sebagai janji untuk kita. Demikian pula halnya dengan ketentuan-ketentuan bagi Israel. Ini juga tidak secara langsung dan menyeluruh berlaku atas kita.

Dalam kasus Israel, setiap hukuman Tuhan selalu didahului dengan peringatan dan teguran para nabi. Israel diingatkan agar menyadari dosa-dosa mereka. Nabi-nabi seperti Amos, Yeremia, Yesaya, Habakuk, Hosea, dan sebagainya, secara rinci dan spesifik menyebutkan dosa-dosa apa saja yang dimaksudkan Allah. Israel dituntut untuk bertobat dan kembali kepada Allah.

Barulah bila kesempatan untuk bertobat ini tidak dimanfaatkan oleh Isarel, Allah akan datang dengan penghukuman. Penghukuman itu dalam bentuk apa, itu pun disebutkan secara kongkret. Kepada penduduk Yerusalem, Yesaya memaklumkan,

“Tuhan, Tuhan semesta alam telah menentukan suatu hari, (di mana) Ia akan menggemparkan, menginjak-injak dan mengacaukan orang. Di “Lembah Penglihatan” tembok akan dirombak, dan teriakan minta tolong (akan) sampai ke puncak gunung! Elam telah memasang tabung panah. Aram datang dengan pasukan berkereta dan berkuda. Dan Kir membuka sarung pedang .” (Yesaya 22:5-6). Sekali lagi, sangat spesifik.

* * *

BERBEDA sekali dibandingkan kita sekarang, bukan? Israel-berbeda dari kita-tidak pernah dan tidak perlu bertanya-tanya: “Apa dosaku?”, “Mengapa penderitaan ini?, atau “Apa yang dituntut Tuhan?”. Apa yang misterius bagi kita, amat jelas bagi mereka.

Kesakitan akibat terkena peluru nyasar, atau akibat tawuran yang membabi buta, atau akibat penyakit kanker yang amat lanjut, atau akibat dikhianati serta ditipu teman seiring, jelas berbeda dibandingkan “penderitaan-sebagai-hukuman” yang dialami Israel !

Dan jangan sekali-kali mempersamakannya! Betapa sering dalam hal ini, orang-orang Kristen punya maksud baik, tapi tidak peka dan tidak arif. Mengunjungi saudara-saudaranya yang sakit, mereka tidak membawa kata-kata penghiburan atau kue atau karangan bunga. Tapi menanamkan “perasaan bersalah”, “Anda pasti melakukan sesuatu, sehingga Tuhan menghukum Anda begini.”

Atau ada pula yang membawa oleh-oleh berupa “dakwaan”. “Anda kurang percaya dan kurang berdoa sih”. Oleh-oleh semacam itu samasekali tidak menghibur atau membantu. Malah menambah kesakitan yang tidak perlu. Sebelumnya cuma sakit raga, kini hati mereka luka, tidak sejahtra, dan ragu.

* * *

ITU sebabnya, kita perlu membaca dan memahami berita Alkitab secara baru. Kita juga perlu mencari “model” lain untuk coba menjawab pertanyaan, “Siapa di balik kesakitan dan penderitaan manusia?”. “Model” yang baru itu adalah YESUS.

Kita tahu bahwa Yesus adalah “Allah yang menjadi manusia”. Allah Maha Pencipta yang adi-kodrati, menjelma menjadi makhluk, menjadi manusia yang kodrati. Allah yang serba tak terbatas, dengan ikhlas membatasi diri-Nya, menjadi sama seperti kita-terikat oleh hukum alam. Bisa merasakan lapar, haus, sedih, gembira dan .. sakit! Karena itu, bagaimana Yesus merespon kesakitan dan penderitaan, bagi kita adalah cermin yang ideal mengenai sikap yang benar dalam menghadapi sakit dan penderitaan.

Apa saja yang dapat kita katakan mengenai Yesus dalam kaitan ini? Pertama, Ia menghadapi realitas kesakitan dengan “takut” dan “gentar” “Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya,” begitu Ia mengungkapkan perasaanNya (Matius 26:38). Karena kemampuan-Nya untuk merasakan kesakitan itu, Ia menjadi peka terhadap orang-orang yang “senasib”. Ia tidak sekadar mengkotbahi mereka dengan kata-kata. Tapi dengan tindakan. Kuasa ilahi yang dimiliki-Nya tidak Ia pakai untuk menghukum, melainkan untuk menyembuhkan!

Namun walaupun begitu, toh “mujizat penyembuhan” (yang memang dilakukan-Nya, dan digemari banyak orang!) tidak pernah Ia jadikan pusat pelayanan-Nya. Apalagi sebagai alat pemikat. Prinsip Yesus adalah, “percaya dulu, maka mujizat terjadi”, bukan “pamerkan mujizat sebanyak-banyaknya, supaya sebanyak-banyaknya pula orang takjub lalu percaya”.

Cuma sekali-sekali, pada saat-saat yang Ia anggap perlu, Ia memperlihatkan kuasa-Nya. Tapi pada umumnya, Ia memilih untuk menghormati hukum alam. Bahkan pada saat yang paling gawat pun, ketika Ia akan ditangkap. “Kau sangka bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat untuk membantu Aku?” (Matius 26:53). Tapi bukan itu yang Ia lakukan. Ia rela pergi bersama-sama dengan para penangkap-Nya.

Oleh karena itu, Ia pun ingin agar kita dengan rendah hati bersedia menerima keterbatasan kodrati kita, termasuk realitas bahwa kita bisa sakit dan menderita, dan bahwa sakit serta menderita itu tidak enak. Tidak terlalu mudah cari mujizat.

* * *

BAGAIMANA pendapat Yesus mengenai “penanggungjawab utama” kesakitan dan penderitaan manusia? Ia tak pernah memberi jawaban “instan”, yang tinggal aduk langsung reguk. Tapi yang jelas adalah, bagi Yesus, keduanya tidak ada dalam skenario Allah. Allah yang Ia perkenalkan adalah Allah yang bersedia menanggung penderitaan manusia, karena itu alih-alih sengaja membuat manusia menderita. Imposibel-lah!

Bagaimana kalau Iblis yang kita jadikan tertuduh utama? Tentu saja Iblis berperan besar, tapi jangan kita pikir ia bisa seenaknya berbuat apa saja tanpa perkenan Allah. Tidak sehelai rambut pun gugur dari kepala kita, kata Yesus, tanpa diketahui oleh Bapa yang di sorga!

Kalau begitu, manusia sendirikah penyebabnya? Manusia tentu bertanggungjawab. Tangan mencencang, bahu memikul. Tapi Yesus segera memperingatkan, bahwa belum tentu kesakitan dan penderitaan adalah buah kesalahan yang bersangkutan.

Menjawab pertanyaan murid-murid-Nya, mengenai dosa siapa yang menyebabkan seseorang buta sejak lahir? Yesus menjawab, itu bukanlah akibat dosa yang bersangkutan! (Yohanes 9:2-3). Tapi “karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia”.

Jadi tetap tidak ada satu jawaban yang pasti. Ini disebabkan bukan karena jawabannya yang sulit, melainkan karena pertanyaannya yang salah! Seharusnya pertanyaan kita bukanlah “mengapa?” atau “apa sebabnya?” atau “siapa yang menyebabkannya?”. Semua pertanyaan ini menunjuk ke masa lampau.

Yang Yesus kehendaki adalah kita melihat ke depan. “Oke, sekarang saya sakit. Apa yang sekarang dapat dan harus saya lakukan, supaya ‘pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan’ melalui keterbatasan saya ini?”. Kalau bisa begini sikap kita, wah, kita dapat menghindarkan banyak frustrasi yang tidak perlu. Sungguh!

Karena itu doa saya bukan saja supaya saya sembuh. Tapi apakah saya sehat atau sakit, saya masih bisa berguna bagi Kerajaan-Nya. Apakah saya sehat atau sakit, saya dimampukan menjadi saksi nyata dari kebaikan-Nya. *

Kesakitan dan Kenikmatan
Oleh Eka Darmaputera

Dalam kenyataan praktis sehari-hari, ternyata ”rasa sakit” banyak manfaatnya. ”Rasa sakit” bukanlah semacam ilalang yang tumbuh di taman yang kehadirannya amat mengganggu dan sulit dilenyapkan. Karena itu, heran, mengapa Tuhan menciptakannya. Dunia tanpa ilalang, jauh lebih menyenangkan. bukan?

”Rasa sakit”, sekali lagi, bukan ilalang. Di tengah-tengah begitu banyak ancaman yang tersembunyi dalam hidup manusia sehari-hari, ia berfungsi memberi peringatan. Seperti klakson. “Tut! Tut!” Dan lebih baik Anda memperhatikan peringatannya. Seorang warga jemaat saya meninggal karena mengabaikan rasa pening-pening sedikit yang tak mau pergi dari kepalanya. Walau ”sedikit”, itu adalah bunyi ”klakson” yang berusaha memberi peringatan–mumpung masih jauh. ”Awas!”

Ada pula manfaat ”rasa sakit” yang lain. Yang ini sering tidak kita sadari, yaitu adanya keterkaitan yang erat antara ”kesakitan” dan ”kenikmatan”. Pain and pleasure.

Seperti daging adalah unsur utama masakan rendang, menurut Philip Yancey, ”rasa sakit” adalah komponen esensial dari setiap kepuasan batin yang kita alami. Semakin besar ”kesakitan”nya, semakin besar ”kenikmatan”nya.

Aneh kedengarannya, bukan? Lha wong sakit kok menyenangkan? Kesulitan kita memahami ”logika” ini, sama sekali tidak mengherankan. Setiap waktu kita memang dicekoki dengan ”dalil” yang berlawanan.

Kita dibesarkan dan dididik dengan pemahaman, bahwa ”kesakitan” adalah antitesis dari ”kesenangan”. Bahwa semua yang menyakitkan itu, tidak nikmat. Dan semua yang nikmat, tidak menyakitkan.

Sebab itu, begitu kepala Anda ”nyut, nyut, nyut”, cepat-cepatlah minum tablet X yang ”pancen oye” Atau Anda merasa agak meriang? Jangan pandang enteng, segera ambil puyer A, maka ”ewes, ewes, ewes, bablas panase”.
Cobalah sekali-sekali Anda datang ke apotik, lalu tanyakan obat pencahar apa saja yang tersedia di situ . Saya jamin, pasti buanyaaak sekali. Yang tablet, yang puyer, yang sirop, yang kapsul, yang gel. Padahal tujuannya ‘kan ya cuma yang satu itu: agar lancar ”B.A.B”nya.

* * *

”RASA sakit” mesti dibasmi segera, sebab merusak kenyamanan dan mengganggu kenikmatan. Begitu orang berpikir. Tapi benarkah cuma itu makna ”rasa sakit” itu, yaitu sebagai ”pengganggu”? Menurut Helmut Thielicke, tidak. Karenanya ia mengecam gaya hidup moderen, sebagai yang telah kehilangan ”pemahaman yang memadai tentang penderitaan”. Pemahamannya cupet, naif, jomplang.

Thielicke benar. Serta merta menolak, memusuhi, dan berpandangan negatif terhadap ”rasa sakit”, seperti tutur Philip Yancey, ”membuat kita putus hubungan serta melenceng dari ”alur sejarah umat manusia, yang selamanya merangkul kesakitan sebagai bagian yang menyatu dengan kehidupan”.

Sebenarnya belum terlalu lama berselang, kita masih menganggap ”rasa sakit” sebagai sesuatu yang normal dan rutin. Tidak nyaman dan tidak menyenangkan, memang, tapi itulah konsekuensi kehidupan.

Mau hidup, ya berarti mau sakit. Mungkin baru berawal dari generasi kita saja, orang menganggap dan memperlakukan kesakitan sebagai ”mahluk asing dari galaksi lain”, yang datang meng-invasi dan mengancam eksistensi kita.

Karena itu, sebelum sempat menjamah tubuh kita, sedapat-dapatnya ”rasa sakit” itu mesti kita perangi dan kita tundukkan. Dan itulah antara lain fungsi teknologi. Dengan teknologi, Anda tidak perlu lagi membebani pundak manusia dengan beban berat, seperti tatkala nenek-moyang kita membangun Borobudur, ada fork-lift. Anda juga tidak perlu memenatkan kaki Anda dengan menaiki puluhan anak tangga, ada escalator. Bahkan tak perlu bersusah-susah belanja sendiri ke pasar atau membeli tiket pesawat terbang ke agen perjalanan, ada internet. Dan seterusnya.

* * *

TEKNOLOGI memang amat membantu. Siapa mengatakan tidak? Karena itu, silakan manfaatkan seoptimal-optimalnya. Tapi saya mohon Anda menyadari, bahwa ada sisi faktualnya yang lain.

Yancey menganalogikan kerja otak manusia dengan sebuah amplifier. Fungsi sebuah amplifier adalah mengoordinasikan 1001 macam aneka masukan (= input) yang berasal dari luar. Sedemikian rupa, sehingga alat-alat elektronis kita hanya menerima masukan yang diperlukan dan telah di”tertib”kan saja.

Otak manusia pun demikian. Ia juga menerima pelbagai macam masukan, melalui sentuhan, penglihatan, cita rasa, dan bau, dan sebagainya. Pada orang sehat, ”rasa sakit” adalah salah satu masukan, yang berfungsi melaporkan apabila ada potensi bahaya.

Semakin lanjut usia manusia, kepekaan dan kesigapan indera manusia dalam merasakan rangsangan semakin melemah. Untuk mengatasi ini, otak harus memutar tombol ”volume”-nya lebih keras, agar masukan yang melemah itu masih dapat tertangkap. Pada penderita kusta, daya tangkap itu terus berkurang dengan cepat, sampai lenyap sama sekali dan seluruh tubuh tak lagi bereaksi apa-apa.

Budaya moderen, kata Yancey, melakukan yang justru sebaliknya. Yaitu sebaliknya dari pada meningkatkannya, ia malah terus menekan dan memperlemah rangsangan ”rasa sakit” yang vital itu. Dan apa yang terjadi ini sungguh memprihatinkan! Karena ketika tombol volume ”rasa sakit” ditekan habis-habisan, volume masukan yang lain kian menguat.
Pendengaran kita, misalnya. Dengarkanlah jenis musik apa yang membombardir pendengaran orang sekarang! Bandingkanlah berapa desibel bedanya antara dentuman musik Mick Jagger atau Led Zepelin dengan kelembutan karya Strauss atau Mozart.

Atau penglihatan kita. Masukan apa yang diterima orang sekarang melalui penglihatannya? ”Volume” masukan untuk penglihatan kita juga meningkat tajam.

Betapa mata kita disilaukan oleh gemerlapannya cahaya lampu-lampu neon dan fosfor di daerah-daerah hiburan dan pertokoan. Sehingga, seperti pernah ditulis oleh Kierkegaard, kita kehilangan indahnya cahaya syahdu bulan, bintang, dan kunang-kunang.

Atau penciuman kita. Masihkah Anda menikmati segarnya bau tanah yang tersiram hujan? Halusnya keharuman bunga melati di waktu malam? Atau ”semegrak”nya bau kotoran hewan yang telah menyatu dengan tanah? Saya sungguh merasa kehilangan yang sangat akan aroma pedesaan itu. Tak dapat digantikan oleh ”invasi” aneka macam aroma parfum, pewangi pakaian, pengharum udara, dan entah pengharum apa lagi.

* * *

ORANG modern telah menggantikan ”kenikmatan alami” yang asli dengan ”kenikmatan artifisial” – ”kenikmatan buatan” ciptaan sendiri. Itulah inti persoalan kita dengan penyalah-gunaan obat-obatan terlarang sekarang ini! Yang memberi ”kenikmatan buatan” yang, harus kita akui, memang lebih segera dan lebih terasa. ”Volume”nya lebih keras. Tapi akibatnya?

O ya, Anda pun pasti tahu apa nama ”dunia” yang paling menguasai akal, batin dan jiwa manusia sekarang – dari pagi sampai malam; sejak di rumah, di kantor, bahkan dibawa ke mana-mana sebagai teman jalan yang tak boleh ketinggalan? Ya! ”Dunia maya”, tak salah lagi! Kotak kecil bernama ”komputer” itu kini adalah tempat banyak orang menggantungkan segala sesuatu. Sekali ia ”ngambek”, lumpuhlah manusia dibuatnya, bak bayi prematur yang tak berdaya apa-apa.

Persoalannya adalah, susunan syaraf manusia tidak punya ”jalur” khusus untuk ”rasa nikmat”. Jalur untuk ”rasa nikmat” adalah jalur yang sama untuk ”rasa sakit”. Rasa gatal nan tak nyaman karena digigit serangga, disalurkan ke otak melalui jalan yang sama dengan rasa nyaman ketika berada di pelukan kekasih.

Itulah sebabnya, secara alamiah, ”kenikmatan” dan ”kesakitan” tidak dapat dipisahkan. Tolong Anda jawab pertanyaan ini: menggaruk bagian tubuh yang gatal luar biasa sampai berdarah-darah – ini ”sakit” atau ”nikmat”? Minum coklat panas – begitu panasnya hingga lidah kita ”matang” dibuatnya — di tengah hawa pegunungan yang sedang dingin-dinginnya – ini ”sakit” atau ”nikmat”? Makan mi ayam panas dengan sambal pedas, sampai perut mulas — ini ”sakit” atau ”nikmat”? Mengapa ”jatuh cinta itu indah”, padahal jatuh cinta juga berarti kurang enak makan dan kurang enak tidur? ”Kenikmatan” dan ”kesakitan” – sulit terpisahkan, bukan?

Yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Agustinus, bahwa ”Di mana pun, sukacita yang lebih besar selalu didahului oleh penderitaan yang lebih besar pula”. Tidak pernah orang merasakan nikmatnya makan, seperti ketika ia sedang lapar selapar-laparnya. Atau merasakan kelegaan begitu dalam, seperti waktu ia berhasil ”lolos dari lubang jarum”, dari kecemasan yang sangat mencekam.

* * *

KEKRISTENAN tidak memuja kesakitan. Tapi ia mengajak kita merangkul -nya, sebagai bagian dari berkat Tuhan yang bernama ”kehidupan”. Karena itu, kata Paulus, kemuliaan kebangkitan hanya tersedia bagi mereka yang telah mengalami kehinaan salib. Dan biji gandum akan tetap tinggal satu, kata Yesus, mandul tanpa buah, kecuali bila ia ditanam, busuk dan mati (Yohanes 12:24).

Kita tidak mencari-cari kesakitan demi kesakitan.. Tujuan kita bukanlah untuk menjadi juara menahan rasa sakit! Tujuan hidup kita adalah ”menghasilkan buah” (Filipi 1:22). Demi untuk ”berbuah” itulah, kita tidak serta-merta menghindar bila kita memang harus ditanam, busuk, bahkan mati sekali pun. *

Kesakitan, Megafon Tuhan yang Paling Kuat
Oleh Eka Darmaputera

Kita telah membahas betapa “kesakitan” bukan saja merupakan jeritan manusia, tetapi juga teriakan Tuhan. “Megafon” atau “pengeras suara” yang dipakai Tuhan untuk menggugah kesadaran manusia. Mengapa “kesakitan”? Sebab bisikan halus saja sering diabaikan. Sedang bujukan manis sampai ancaman keras pun acap kali tidak dihiraukan.

Cuma “kesakitan”lah yang berbunyi cukup lantang untuk membuat manusia tersentak. Memaksanya menengok memeriksa diri, lalu berpaling kembali kepada Tuhan.

Sejarah umat Israel membuktikan ini. Ketika hidup mereka mulai mapan dan serba kecukupan, begitu kita baca dari Perjanjian Lama, mereka cenderung melupakan Sumber-nya. Mereka mengabaikan hukum-hukum Tuhan. Mereka melecehkan peringatan keras para nabi.

Sampai, sebagai akibatnya, mereka masuk ke lubang bencana yang mereka gali sendiri. Baru mereka menjerit kesakitan. Baru mereka berteriak minta tolong. Ternyata “kesakitan” dan “penderitaan” inilah yang mampu membuat mereka mengenali serta mengakui kejahatan-kejahatan mereka, dan menggiring mereka kembali ke pangkuan Allah. Bukan kenikmatan atau kesenangan, melainkan kesakitan dan penderitaan.

Ini tentu tidak ideal. Siapa sih yang menyukai kesakitan? Allah sendiri tidak Ia malah dengan tidak jemu-jemunya mengingatkan, ” Hati-hatilah, supaya apabila engkau sudah makan dan kenyang, mendirikan rumah-rumah yang baik serta mendiaminya, dan apabila lembu sapimu dan kambing dombamu bertambah banyak, dan emas serta perakmu bertambah banyak, dan segala yang ada padamu bertambah banyak, jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan Tuhan, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan” (Ulangan 8:12-14). Ini yang ideal. Tapi sayang, hampir selalu dilupakan orang.

Yang terjadi adalah, dengan tidak jera-jeranya, manusia mengulangi dan mengulangi kesalahan yang sama. Sampai Allah mengeluh, “Lembu mengenal pemiliknya, tapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tapi umat-Ku tidak memahaminya” (Yesaya 1:3). Sehingga terpaksa, dengan “megafon”-Nya – “kesakitan” dan “penderitaan” – Allah memanggil manusia untuk kembali. Cara yang menyakitkan dan tidak ideal. Tapi perlu. Lagi pula, pilihannya ya cuma satu itu.

* * *

“KESAKITAN” dan penderitaan bukan ternyata saja “megafon” Tuhan yang paling kuat, tetapi juga paling efektif. Paling berhasil-guna. Paling “ces pleng”

Anda tidak percaya? Baik – untuk membuktikannya, saya persilakan Anda Anda pergi ke ruang tunggu Bagian “Perawatan Intensif” (ICU) di rumah sakit mana saja. Philip Yancey — dalam “Where is God When it Hurts?” yang sering saya sebut sebagai sumber inspirasi rangkaian tulisan ini — dengan amat mengesankan melukiskan apa terjadi di situ.

Di tempat itu, tulisnya, Anda akan bertemu dengan segala macam jenis orang. Campur aduk antara yang kaya, yang miskin, yang perlente, yang kumuh, yang tua, yang muda, yang intelektual, yang buta huruf, yang agamis, yang ateis – apa saja. Ruang tunggu ICU (barangkali) adalah satu-satunya tempat di bumi ini, di mana perbedaan-perbedaan tak secuilpun punya makna apa-apa.

Beraneka-ragam orang itu diikat menyatu oleh ikatan yang amat kuat, walau mengerikan. Yaitu, oleh keprihatinan akan kesakitan serta penderitaan seorang yang amat dekat, sahabat atau kerabat, yang sedang sekarat. Kesenjangan sosial-ekonomi dan perbedaan agama, serta merta menguap lenyap. Ketegangan rasial serta etnis tak setitik pun membekaskan tanda.

Tidak jarang dua orang yang sebelumnya tak saling mengenal, kini saling merangkul dan menghibur, kemudian menangis bareng tanpa malu-malu. Ada yang untuk pertama kali merasa terdorong untuk berdoa, atau memanggil pastor atau pendeta.

Semuanya dipersatukan oleh satu perasaan: alangkah berharganya, tapi juga alangkah rapuhnya kehidupan! Ketika orang berada begitu dekat dengan kematian, barulah ia menyadari betapa pentingnya kehidupan.

Ideal sekali, bukan? Ya. Dan yang “ideal” itu dimungkinkan oleh realitas kesakitan dan penderitaan! Agaknya cuma “megafon kesakitan”-lah yang terdengar cukup nyaring dan bekerja cukup efektif, untuk menggiring beraneka-ragam manusia ini untuk sama-sama menekuk lutut mereka dan memalingkan hati mereka kepada Allah.

Tidak heran, kata Helmut Thielicke, yang ada ialah “pendeta rumah sakit”. Tidak ada “pendeta rumah makan” atau “pendeta rumah karaoke”.

* * *

INI tidak berarti bahwa Allah membiarkan “kesakitan”, supaya manusia berpaling kepada-Nya. Sebab kalau ini benar, wah, alangkah “egois”nya dan “kejam”nya Allah. Tega menyakiti anak-anak-Nya, sekadar supaya hasrat dan kepentingan-Nya terpenuhi. Tidak! Allah sendiri tidak menyukai “kesakitan”. “Kesakitan tidak ada dalam skenario penciptaan-Nya. Sang Putra, Yesus Kristus, harus menempuh “kesakitan” dan “penderitaan”, justru untuk membebaskan manusia dari padanya.

Tapi yang jelas, ketika “megafon kesakitan” ini berbunyi, Allah sedang mengumumkan bahwa ada sesuatu yang salah. “Sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh, dan sama-sama merasa sakit bersalin” (Roma 8:22). “Sakit bersalin” artinya, ada kesakitan tapi juga pengharapan.

* * *

JOHN DONNE adalah penyajak berkebangsaan Inggris pada abad 17. Ia secara langsung mengalami perihnya sengatan kesakitan. Bukan cuma istrinya yang amat ia cintai, Anne, mati meninggalkannya. Tapi ia sendiri, tak lama setelah itu, didapati mengidap penyakit yang tak tersembuhkan, dan yang membuat ia amat menderita.

Tapi di tengah kesakitannya itu, ia mendengar “megafon Tuhan” . Dari tempat pembaringannya, tanpa mampu lagi menulis, ia melahirkan karya-karya terindah yang pernah ditulis orang tentang makna kesakitan. Salah satunya adalah Meditation XVII, yang seperti dikutip oleh Philip Yancey, antara lain berbunyi,

“Ketika seseorang meninggal dunia, sebuah bab tidak dicabik keluar dari buku, melainkan diterjemahkan ulang ke dalam bahasa yang lebih indah. Setiap bab mesti diterjemahkan seperti itu. (Untuk ini) Allah mempekerjakan beberapa penerjemah. Beberapa bagian diterjemahkan ulang oleh usia. Beberapa oleh penyakit. Beberapa oleh perang. Beberapa oleh keadilan. Tapi tangan Tuhan ada di tiap terjemahan.

Tangan-Nya pula yang akan mengikat kembali halaman-halaman yang telah terserak-serak, untuk ditaruh di perpustakaan di mana setiap buku akan saling terbuka satu terhadap yang lain. Demikianlah lonceng (kematian) ini memanggil kita semua. Terlebih-lebih aku, yang telah dibawa begitu dekat melalui kesakitan ini”.

Untuk orang lain, kematian adalah sebuah titik; sebuah akhir kehidupan. Bagi Donne, kematian adalah sebuah tanda tanya. Apakah aku siap menghadap Dia? Pendek kata, ia menyadari betapa hidupnya – bahkan di tempat tidurnya dan di tengah erangan kesakitannya – bukan tanpa makna.

Karena itu ia mengerahkan seluruh daya yang ada padanya, memanfaatkan kesempatan khusus ini untuk melatih disiplin rohani-nya. Berdoa, mengaku dosa, menulis sebuah jurnal (yang kemudian dijadikan sebuah buku Devotions). Ia memindahkan perhatian utamanya, tidak lagi kepada diri sendiri, melainkan kepada yang lain-lain.

Dalam Devotions, Donne memperlihatkan perubahan sikap yang mencolok terhadap “kesakitan”. Ia mulai dengan doa agar kesakitan diangkat dari dirinya. Tapi ia mengakhirinya dengan doa agar “kesakitan”nya dikuduskan , dan ia dididik melauinya. Ia masih mengharapkan mujizat. Namun andaikata itu tidak terjadi, ia tahu Allah sedang me”murni”kannya melalui tanur api.

* * *

BETAPA jelas, tujuan hidup manusia bukanlah untuk sekadar merasa aman dan nyaman, bebas dari persoalan, kesakitan atau tantangan. Sekiranya kita sedikit saja mau peka terhadap realitas di sekitar kita, maka kita akan menyadari betapa mustahilnya Tuhan menciptakan dunia ini, dengan maksud agar kita berpesta ria.

Bagaimana kita dapat berpesta ria, bahkan tidur dengan tentram, ketika pada saat yang sama kita tahu dua per tiga penduduk dunia pergi tidur dengan perut kosong – setiap malam? Sungguh tidak mungkin untuk percaya bahwa tujuan hidup kita adalah untuk bernikmat-nikmat, ketika kita menyaksikan penderitaan anak-anak yang harus mencari nafkah pengganti orang tua mereka, atau pemuda-pemuda yang membunuh masa depan mereka dengan mengikatkan diri pada narkoba, atau apa yang dialami oleh mereka yang tercabut dan kehilangan segala-galanya dan kini “terjebak” di kamp-kamp pengungsian.

Bisa saja kita menutup mata, dan menjadi penganut hedonisme. Tapi semua itu pasti akan berakhir, ketika kesakitan dan penderitaan pada akhirnya berlabuh pada hidup kita sendiri. Ketika kenyerian dan kengerian setiap detik mengetuk pintu mengganggu ketentraman tidur kita.

Para hedonis, yaitu mereka yang melihat kenikmatan sebagai tujuan, haruslah menyumpal telinga mereka dengan kapas banyak-banyak. Sebab megafon “kesakitan” dan “penderitaan” sesungguhnya berbunyi amat lantang! *

Kesakitan, Tuhankah Penyebabnya?
Oleh Eka Darmaputera

Ketika saya mempersiapkan tulisan ini, Andreas Suwito-seorang sahabat dekat-meninggal dunia sewaktu berselancar-udara di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Padahal ia termasuk senior dalam olah raga itu dan, konon, selalu cermat dan hati-hati.

Hampir bersamaan waktu dengan itu, sebuah helikopter tergelincir dari Lantai 23, kemudian jatuh terperosok ke kolam renang Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Mayor Pnb. Affandi Malik, Daisy Hermawan, dan Donovan Ardiansyah menjadi korban. Padahal, konon, pesawatnya laik terbang. Dan penerbangnya pun pilot berpengalaman.

Apakah peran Tuhan dalam tragedi-tragedi itu? Apakah Ia sendiri yang memilih dan menentukan-dari antara milyaran orang, ribuan atlit olah-raga udara dan pilot di dunia ini –, siapa-siapa yang mesti mati hari itu? Apakah Ia sendiri-setelah memeriksa peta dan almanak-yang memutuskan lokasi dan saat, di mana dan bilamana orang-orang muda itu mesti mati terhunjam ke bumi?

Apakah Tuhan berperan bagaikan Kepala Tramtib DKI Jaya yang menggusur perkampungan liar? “Ya, ayo! Benar, kampung itu, rumah-rumah itu, hancurkan! Timbuni dengan tanah longsor! Sapu dengan air bah! Ingat, Tuginah dan Sa-mono boleh jadi korban, tapi jangan Pramono dan Supini. Walau mereka tetangga sebelah!”

Begitukah Tuhan bekerja? Dengan cara seperti itukah Ia menghukum yang berdosa, dan memberi pahala mereka yang berjasa?

* * *

HAMPIR semua orang yang sedang mengaduh dan mengerang kesakitan, saya yakin, percaya bahwa Allah sedang menghukum mereka. Atau paling sedikit, membiarkan mereka menderita. Karena itu teriakan mereka: “Duh Gusti!”. “Masya’allah”. “Ya Tuhan!” Semua, dengan caranya sendiri-sendiri, menyebut nama Tuhan. Dengan perkataan lain, mereka beranggapan Allah-lah “aktor intelektualis” utama di belakang kesakitan mereka. Ah, kalau saja Allah mau bertindak lain!

Cara berpikir seperti itu memang tak selalu berkonotasi negatif. Tak selalu berarti menghujat atau mempersalahkan Allah. Paulus berpendirian seperti itu juga, namun sedikit pun ia tidak sakit hati kepada Tuhan.

Kita pun telah diyakinkan, bahwa-sekiranya datang dari Allah-kesakitan adalah “berkat” bukan “laknat”. Bahwa kesakitan bisa memperkaya, menggembleng, memurnikan, serta mendewasakan spiritualitas kita. Bahwa kesakitan adalah “megafon” Tuhan, yang mendorong manusia meng-introspeksi serta mengoreksi diri setiap kali. Itulah, secara umum, fungsi dan makna kesakitan.

Tapi sayang seribu kali sayang, kesakitan tidak pernah menerpa kita “secara umum”. Kesakitan selalu kita alami sebagai sesuatu yang “spesifik”, “khusus”, dan “pribadi”. Kesakitan adalah rasa ngilu yang hebat di setiap persendian saya.

Kesakitan adalah rasa pening luar biasa, bagaikan buldoser menerjang kepala saya. Kesakitan adalah perasaan teraniaya, ketika setiap tarikan nafas harus merupakan perjuangan yang amat berat. Kesakitan adalah perasaan sedih, sunyi, patah hati, sakit hati.

Selalu “spesifik”. Dan selalu menyiksa. Perasaan tersiksa ini tidak serta merta hilang, hanya karena kita “secara umum” sudah mengetahui fungsi-fungsi kesakitan. Karenanya, tak ada satu kekuatan pun yang mampu mencegah orang bertanya, “Bagaimana mungkin Tuhan yang Pengasih membiarkan siksa seperti ini?”

* * *

BILA benar kesakitan adalah “megafon” Tuhan, pertanyaan kita adalah: apa sih yang Tuhan ingin sampaikan melalui penyakit liver saya yang tak mungkin tersembuhkan ini? Mengapa penyakit ini, mengapa bukan penyakit lain? Mengapa saya, bukan dia? Mengapa sekarang, tidak 20 tahun lagi. Spesifik.

Philip Yancey menuliskan pengalaman yang menarik, ketika di sebuah pesta salah seorang sahabatnya dengan wajah serius bercerita, tentang bencana gempa bumi dahsyat yang baru saja menimpa suatu wilayah di Amerika Selatan. “Tahukah Anda,” demikian teman tadi bertanya, “bahwa korban yang beragama Kristen jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang bukan Kristen?”.

Walau yakin bahwa tidak ada maksud buruk apa-apa, cerita teman itu toh membuat Yancey gelisah. “Sekiranya cara berfikir teman itu benar, wah, apa ya kira-kira dosa orang-orang Kristen yang mati itu, sehingga-walaupun jumlahnya kecil-nasib mereka disama-ratakan dengan nasib “orang-orang kafir”?”

Menurut saya, cara berfikir seperti itu sangat tidak kristiani. Sangat “kafir”! Korban musibah kok ditanggapi seperti pertandingan sepak bola saja. Kalau Anda mengatakan, “Brasil 3 – Prancis 0”, tanpa perasaan apa-apa, ini oke-oke saja. Tapi kalau misalnya Anda menilai konflik Ambon berdasarkan atas jumlah korban, “Kristen 10 – Muslim 30” – lalu “Hureee!”? Saya tegaskan: Anda bukan orang Kristen sejati! Yesus mati bukan hanya untuk yang 10 orang, tapi juga untuk yang 30 orang itu.

* * *

YANCEY selanjutnya menulis, “Pikiran saya lalu terbawa ke peristiwa-peristiwa tragis, yang korbannya justru hampir seluruhnya adalah orang-orang Kristen. Pembantaian massal di Armenia; kecelakaan bis yang mengangkut rombongan paduan suara di Yuba City, California; banjir besar yang menyapu bersih seluruh kompleks Campus Crusade di Estes Park, Colorado; waduk bobol yang menghantam kompleks Sekolah Alkitab di Toccoa Falls. Jelaslah, betapa beriman kepada Allah tidak menjamin orang bebas dari tragedi!”.

Jadi, apakah Allah berperan dalam kesakitan dan penderitaan manusia? Atau tidak? Bila Ia sama sekali tidak berperan, alangkah mengerikannya! Sebab hidup manusia seolah-olah dibiarkan bergulir sendiri, seperti mobil yang berlari kencang tanpa ada sopir yang mengemudikannya. Tapi bila berperan, apakah perannya? Seberapa besar? Seberapa menentukan?

Menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini, orang Kristen tidak punya pilihan lain kecuali mencari jawabannya dari Alkitab. Apakah kata Alkitab, mengenai pelaku dan penyebab kesakitan serta penderitaan manusia? Tapi bila itu yang kita lakukan, ternyata Alkitab bukanlah “buku kunci” untuk pertanyaan-pertanyaan itu.

Mengapa? Alkitab tidak punya satu jawaban. Alkitab tidak punya satu teori besar mengenai penyebab kesakitan dan penderitaan manusia. Secara sepintas, Alkitab paling sedikit punya empat macam jawaban.

PERTAMA, adalah ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa TUHAN-lah si “biang kerok”. Dalam Kejadian 38:7 dikatakan, “tetapi Er, anak sulung Yehuda itu, adalah jahat di mata Tuhan, maka Tuhan membunuh dia”. Allah, bagaikan “pemain tunggal”, dengan tangan-Nya sendiri bertindak mendatangkan hukuman atas manusia. Allah-lah yang berada di belakang sepuluh tulah yang menimpa Mesir. Ia pula yang – sendirian-berperang di depan Israel, menghancur-lumatkan bangsa-bangsa Kanaan.

Namun ini toh baru salah satu pilihan jawaban. Alkitab juga menyajikan pilihan “menu” yang KEDUA. Yaitu, bukan Tuhan, melainkan SETAN, yang menjadi penyebab utama kesakitan dan penderitaan manusia. Lukas 13:10-18 bercerita mengenai penderitaan seorang perempuan. Penderitaannya begitu hebat, hingga ia tidak dapat berdiri tegak. Dan juga begitu lama, 18 tahun lamanya. Dan yang menyebabkan semua itu? Lukas jelas-jelas mengatakan: ia dirasuk “roh””! (ayat 11)

Setelah dua macam jawaban itu, eee, ternyata masih ada yang KETIGA. Ini dapat kita baca dalam kitab Ayub, dan menawarkan semacam kombinasi atau perpaduan dari dua jawaban di atas. Ayub 2:4-7 dengan sangat jelas mengemukakan, bahwa SETAN-lah yang menciptakan dan mendatangkan kesakitan, namun dapat melakukan itu hanya setelah memperoleh izin dari ALLAH.

Akhirnya – walau bukan yang terakhir –, adalah jawaban KEEMPAT. Jawaban ini seolah-olah dengan setengah mengejek berkata, “Mencari-cari “biang kerok” penderitaan kok jauh-jauh amat sih?! “Allah”-lah, “Setan”-lah, “Roh-roh jahat”-lah. Salah semua! Bila sakitnya ada pada kita, maka penyebabnya ya juga ada pada kita. As simple as that.”

Pandangan seperti itu adalah ciri khas kitab Amsal yang serbapraktis dan selalu membumi. Tanamlah yang jahat, itu pula yang Anda akan tuai! Ikutilah jalan yang salah, maka ke tujuan yang salah pula Anda akan tiba!

“Siapa menggali lubang akan jatuh ke dalamnya; dan siapa menggelindingkan batu, batu itu akan kembali menimpa dia.” (Amsal 26:27). Alhasil, siapakah biang kerok’ kesakitan Anda? Jawab di empunya Hikmat: ya Anda sendiri! Manusia sendiri! Keempat kemungkinan jawaban itu sama-sama menariknya, sama-sama masuk akalnya dan sama-sama yangpunya dasar yang kuat di dalam Alkitab. Tapi, di antara yang empat itu mana yang benar? Mana yang sebaiknya kita pilih?

Alkitab bungkam seribu bahasa. Tidak mau menjelaskan mana yang pantas jadi “favorit”. Tapi kita toh tidak boleh cuma berhenti sambil kebingungan. Kita harus mengubah cara kita membaca dan memahami Alkitab. Kita harus mencari “model” jawaban yang lain. Sayang sekali, ini baru dapat kita lakukan minggu depan.

Untuk sementara, yang dapat segera kita simpulkan adalah: ada penderitaan yang tak dapat kita hindari, karena kita tidak tahu asal-usul, penyebab, maupun tujuannya. Tapi ada pula penderitaan yang sebabnya terletak pada kesalahan kita sendiri. Salah pilih mengundang akibat buruk. Wrong choices lead to painful consequenses. Kesakitan ini dapat dan harus kita hindari! Untuk sementara, latihlah diri Anda melakukan yang satu itu. Pilihlah yang benar, walau mungkin tidak spektakuler. Jangan dulu berpikir yang ruwet-ruwet, yang cuma menambah kesakitan.

Sakit, Tapi Jangan Takluk
Oleh Eka Darmaputera

Masih ingatkah Anda, bahwa tatkala kita membuka rangkaian pembahasan kita tentang “kesakitan”, diperlihatkan kepada kita betapa kesakitan yang paling parah, adalah ketika orang menderita sakit, tetapi tak mampu merasakannya. Walau sebuah paku besar menghunjam dalam ke telapak kakinya, dan darah mengucur deras, yang bersangkutan-alangkah mengerikannya-tidak merasakan apa-apa. “Sakit, tapi tidak sadar”.

Kini kita akan menutup rangkaian pembahasan kita dengan mengatakan, bahwa sikap yang paling ideal dalam menghadapi kesakitan, adalah menyadari bahwa ia sakit, mungkin merasakan sakit yang teramat sangat, namun tidak mau menyerah. Seperti Yesus ketika Ia merasakan ngilunya aniaya salib di sekujur tubuhnya. “Sakit, tapi tidak takluk”.

Jadi yang satu-yang terburuk-adalah “sakit, tapi tidak merasa sakit”. Sedang yang lain-yang ideal-adalah “sakit, tapi merasa tidak sakit”. Yang pertama-yang sebaiknya jangan kita alami –, adalah “tidak mampu merasa sakit”. Sedang yang kedua-yang sebaiknya kita usahakan –, adalah “tidak mau merasa sakit”. Begitulah kira-kira perbedaannya, secara amat sederhana.

* * *

SEBAGIAN besar kita pasti mengenal kisah mujizat penyembuhan yang dilakukan Yesus, terhadap seorang yang telah menderita sakit 38 tahun lamanya (Yohanes 5:1-18). Orang itu kini cuma mampu tergolek tanpa daya di tepi kolam Betesda. Menanti kalau-kalau ada orang bersedia menolong menceburkannya ke kolam, tepat di saat kolam itu bergejolak. Konon, begitu kepercayaan orang pada waktu itu, barang siapa berhasil masuk ke kolam tersebut pada saat yang tepat, ia akan sembuh,-apa pun penyakitnya.

Penantian yang sia-sia! Sebab sang penolong itu tak pernah muncul. Jadi? Jadi ya terbaringlah kawan kita di situ. Di tepi kolam. Bertahun-tahun lamanya. Pasrah. Sebab, bisa apa lagi? Sampai Yesus datang menghampirinya di tepi kolam. Dan memutuskan rantai rutinitas nasibnya, yang seolah-olah sudah tak mungkin terubahkan itu.

Ini berawal dengan pertanyaan Yesus. Pertanyaan yang sepintas lalu terdengar seperti tak perlu dijawab atau diperhatikan-saking pastinya. “Maukah engkau sembuh?, ” begitu Yesus bertanya. Astaga! Pertanyaan macam apa ini ?! Siapa pun, tentu saja, akan menjawab dengan “mau”, bukan? Atau Anda punya jawaban lain?

Tapi benarkah begitu? Sungguh-sungguhkah semua orang dengan sendirinya “mau sembuh”? Pada kasus kawan kita ini, soal “ingin sembuh” itu so pasti. Tapi “mau sembuh”? O, belum tentu! Sebab setelah tergolek selama 38 tahun, 99 persen dari seluruh semangat dan pengharapan yang pernah ada, pasti sudah luruh bagaikan daun kering. Justru sikap “menyerah” itulah, pikirnya, yang memungkinkan orang bisa bertahan. Bukan “melawan” yang cuma bakal membuahkan frustrasi! Karena itu, setelah 38 tahun, kawan kita itu lebih siap mental untuk sakit, ketimbang untuk sembuh.

* * *

DENGAN pertanyaan yang “aneh” itu, Yesus ingin mengembalikan lagi semangat dan pengharapan yang telah nyaris pupus, raib dan sirna itu. Prinsip dasar yang Ia mau perkenalkan, adalah: BILA ORANG INGIN SEMBUH, IA PERTAMA-TAMA HARUS MAU SEMBUH!

Prinsip dasar ini diperteguh dan dipertegas lagi melalui “resep” yang diberikan-Nya. Resep yang mengejutkan! Bunyinya: “Bangunlah, angkatlah tilammu, dan berjalanlah!” Astaga! Bangun? Angkat tempat tidur? Berjalan? Setelah 38 tahun? Apa tidak cuma mau ngeledek saja nih?

Ketika Yesus memberi perintah tersebut, Ia pasti belum membaca buku Philip Yancey, atau pun teori-teori kesehatan paling mutakhir, yang menjelaskan betapa kuatnya pengaruh dari apa yang kita pikirkan itu, terhadap fisiologi atau keadaan tubuh kita. Tapi itulah sebenarnya yang Yesus lakukan.

Sebab bila sikap mental Anda adalah “Sudahlah, takluk, tunduk, dan menyerah sajalah!”, maka seluruh tubuh Anda pun akan lunglai dan litoy serta merta, tidak terpicu untuk melakukan perlawanan. Sebaliknya, bila spirit atau semangat Anda berkutat menolak untuk menyerah, maka seluruh kelenjar, hormon, syaraf, dan otot di tubuh Anda pun, akan bersikap laksana sepasukan tentara yang mendengar suara terompet, segera mengambil sikap siaga perang.

Dr. Curt Richter, seorang psikolog dari Universitas John Hopkins, AS, melakukan eksperimen dengan dua ekor tikus. Tikus pertama dicemplungkannya ke sebuah bak tertutup yang telah diisi dengan air hangat, untuk dipantau reaksinya. Sebab pintar berenang, baru setelah 60 jam tikus ini tenggelam sebab kelelahan.

Berbeda dengan tikus kedua. Tikus ini terlebih dahulu telah digenggam erat-erat dengan tangan beberapa menit, sampai berhenti menggelinjang. Tatkala dicemplungkan ke air, reaksinya berbeda. Hanya beberapa menit saja dengan lemah ia berusaha berenang, lalu tenggelam.

Richter menyimpulkan, bahwa tikus kedua ini-karena pengalamannya memberontak dari genggaman tangan yang sia-sia sebelumnya –, ia telah menyerah bahkan sebelum tubuhnya menyentuh air. Ia mati karena perasaan ketidak-berdayaannya.

* * *

EKSPERIMEN yang dilakukan pada manusia-tentu saja dengan metode yang berbeda-juga memberikan hasil akhir yang sama. Perasaan putus asa dan tidak berdaya bukan saja mengubah sikap kejiwaan, tetapi juga mengubah tingkat kesakitan yang dirasakan seseorang. Dengan cara-cara tertentu, batas toleransi seseorang terhadap rasa sakit, dapat ditingkatkan atau diturunkan sampai 45 persen.

Williamson, misalnya, bisa tahan tidak kedinginan di tengah suhu yang hanya 2 derajat Celsius, yaitu ketika ia sedang berusaha keras menolong kucing kesayangannya, yang tidak bisa turun dari pohon di pekarangan rumahnya. Namun ketika ia tak punya apa-apa untuk dikerjakan, suhu kamar duduknya yang 15 derajat pun sudah terasa menyiksa. Ia membebat kakinya dengan kaus tebal, lehernya dengan syal panjang, dan duduk dekat-dekat pendiangan.

* * *

BEBERAPA orang akhir-akhir ini berbicara mengenai sindrom “mati pre-mortem”, atau “mati sebelum mati” , sebagai akibat yang lebih lanjut dari perasaan takluk, menyerah dan tak berdaya. Orang bisa mengalami sindrom ini, ketika sedikit demi sedikit tetapi secara sistematis, diyakinkan bahwa ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi, dan karena itu sebaiknya juga jangan mencoba berbuat apa-apa lagi.

Keadaan ini bisa berawal dengan maksud baik. Dengan sahabat atau kerabat yang datang untuk menjenguk dan bermaksud menghibur. “Sudah, berbaring sajalah. Kalau perlu apa-apa, panggil suster! Jangan dilakukan sendiri!”. Atau, “Istirahat saja tenang-tenang di sini, ya! Jangan pikir apa-apa, nanti stress. Saya nanti akan bereskan segalanya untuk Anda!” Jangan ini, jangan itu! Jangan begini, jangan begitu!

Tanpa sadar, sedikit demi sedikit, perasaan bahwa ia punya tempat dan peran yang bermakna dalam hidup ini, akan memudar. Orang segera merasa kehilangan identitas kediriannya. Merasa tak berharga. Hidup tergantung. Ia mati sebelum ajal. Mati pre-mortem.

Tentu saja orang yang sakit amat parah sangat tergantung kepada bantuan orang lain. Bahkan kadang-kadang sampai sekadar untuk bernafas atau menelan makanan. Ya! Dan orang-orang yang mampu, wajib menolongnya.

Namun yang ingin saya tekankan adalah, orang-orang yang ingin membantu itu mesti selalu sadar dan jeli membedakan antara “menawarkan pertolongan” dan “menawarkan pertolongan terlalu banyak”. Sebab pertolongan yang berlebih-lebihan, seperti halnya sikap protektif yang kelewatan, tidak akan menguatkan si penderita, melainkan justru meperlemahnya. Membuat ia tak berdaya dan tak berharga. Bagaikan “tikus yang kedua” dalam eksperimen Richter.

* * *

SISTEM pengobatan moderen-termasuk cara-cara perawatan di rumah sakit-sekarang ini cenderung melihat penyakit dan memperlakukan orang sakit terlalu serius. Orang-orang yang dikategorikan sebagai “sakit” diberi perhatian, perlakuan dan tempat yang khusus.

Terpisah serta terasing dari kehidupan biasa. Setiap saat, yang bersangkutan-melalui perlakuan-perlakuan yang diterimanya itu-seolah-olah diingatkan, “Hey, ingat, Anda sakit! Anda tidak normal! Jangan ini, jangan itu! Jangan begini, jangan begitu!”

Padahal teolog besar asal Jerman, Juergen Moltmann, dengan tepatnya mengatakan, “Orang moderen cenderung melakukan pemisahan yang berlebih-lebihan antara “sehat” dan “sakit”. “Sehat” didefinisikan sebagai kemampuan untuk bekerja dan kemampuan untuk menikmati segala sesuatu.

Padahal, “sehat” yang sesungguhnya bukan itu. “Sehat” yang sejati adalah kemampuan untuk hidup, tapi juga kekuatan untuk menanggung penderitaan, dan kesanggupan untuk menghadapi kematian. “Sehat” tidak terutama berhubungan dengan kondisi tubuh, melainkan kekuatan jiwa untuk mengatasi kondisi tubuh yang berubah-ubah.”

Difahami demikian, semua orang-tanpa kecuali-sebenarnya “sakit”. Lemah, terbatas, rentan. Tapi semua orang-termasuk Anda yang kini tergolek di tempat tidur-sebenarnya “sehat”. Artinya, masih punya peran, tempat, makna!

Sakit, “Tulah” atau “Anugerah”
Oleh Eka Darmaputera

“Sakit” tidak sama dengan “penyakit”. Ada “sakit” yang bukan “penyakit”-tertusuk paku, misalnya. Dan sebaliknya, ada pula “penyakit” yang justru membunuh “rasa sakit”-pada penderita penyakit diabetes dan penyakit kusta, misalnya.

Tapi saya harap Anda tidak berkata, “Wah, enak benar dong, kalau ada ‘penyakit’ yang malah menghilangkan ‘rasa sakit’! Jadi tidak perlu menderita!” Salah besar! Sebab justru di situlah penderitaan si pasien itu. Bila ia tak mampu lagi merasakan “sakit”.

Suatu ketika, tatkala bertugas ke luar kota, saya dan istri amat beruntung, sebab diajak makan lesehan rame-rame ke luar kota, di tepi sebuah telaga. Di situ kami menikmati udara yang sejuk, pemandangan yang indah, makanan yang lezat, serta dikelilingi teman-teman yang ramah. Pokoknya, serba “perfek”-lah!

Toh satu saat, tiba-tiba selera makan saya luruh seketika. Ini terjadi setelah seorang ibu menunjukkan kaki kanannya. Yang ternyata telah kehilangan dua buah jarinya. “O, diamputasi,” pikir saya, padahal tidak.

Ibu itu bercerita, bahwa ia kehilangan dua jari kakinya itu, ketika berlibur bersama keluarga di luar kota.

Tatkala bangun pagi, ia merasa heran karena ujung tempat tidurnya basah digenangi darah. Dua jarinya hilang, rupanya karena dimakan tikus. Segumpal kecil sisanya, malah masih dibiarkan tergeletak di lantai.

Mengapa ibu itu tidak merasakan apa-apa? Tidak lain, karena penyakit diabetes yang dideritanya, telah membuat syarafnya tak berfungsi lagi. Ngerinya!

* * *

ITULAH, antara lain, perbedaan antara “sakit” dan “penyakit”. “Penyakit” adalah suatu keadaan yang sedapat mungkin harus kita atasi, kita obati, dan kita lenyapkan sampai tuntas-tas , tidak berani datang-datang lagi.

Sedang “rasa sakit”? Haruskah ia kita basmi dan kita musuhi? Wah, mengenai ini, lebih baik kita bicarakan dulu lebih saksama. Apalagi, mumpung kita juga sedang berada di tengah-tengah minggu-minggu peringatan sengsara Kristus.

Nabi Yeremia, dalam pergumulan imannya yang hebat, pernah berteriak memprotes Tuhan, “Mengapakah rasa sakitku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan? Sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai!” (Yeremia 15:18).

Bila seorang nabi sekaliber Yeremia saja sampai berteriak kesakitan, dan hampir kehilangan kepercayaannya kepada Allah, tidak mungkin tidak rasa sakitnya itu pasti telah mencapai titik puncak.

Tapi siapa sih yang dalam kesakitannya, tidak pula meraung minta penderitaannya diakhiri? Dalam pengalaman sakit saya sendiri, saya mengakui, betapa saya dapat menerima “penyakit” saya.

Betapa saya siap menghadap Dia, kapan pun ajal tiba. Tapi dengan harapan, agar-kalau boleh-saya tak perlu mengalami kesakitan. Salahkah Yeremia? Salahkah saya? Salahkah mohon dibebaskan dari kesakitan?

* * *

SIAPA PUN, kecuali mereka yang menderita kelainan jiwa, tidak menyukai kesakitan. Kita menyukainya atau tidak, rasa sakit itu ada dan akan terus ada. Ia akan senantiasa menjadi bagian integral dari kehidupan manusiawi kita yang normal.

Jadi kalau memang mustahil menghindarinya, pikir saya, mengapa kita tidak berusaha merangkulnya? Mengapa kita tidak berusaha mengenalnya dengan lebih akrab? Supaya, siapa tahu, setelah berkenalan, kita lalu lebih mau dan lebih mampu menerimanya dengan rela. Dan kita tidak menanggung stress yang tidak perlu.

Pemahaman yang lebih komplit, lebih objektif, dan lebih adil mengenai “sakit” (= “pain”)-bukan “penyakit” (= “disease”)-saya peroleh melalui karya laris Philip Yancey, berjudul “WHERE IS GOD WHEN IT HURTS?”. Atau, “DI MANAKAH ALLAH, KETIKA (SAYA) TERLUKA DAN KESAKITAN?”

Buku ini diawali dengan penegasan, betapa “rasa sakit” adalah anugerah Allah yang luar biasa! Karena itu, ketimbang menyumpah “God dam’mit, it hurts!” (= “Setan alas, aduh sakitnya!”), kita semestinya memuji, “Thank God for pain!” (“Puji syukur, Tuhan, untuk sakit ini!”).

Tentu tidak semua “rasa sakit” bisa kita syukuri. Rasa sakit luar biasa, yang setiap saat, selama bertahun-tahun, terus menerus tanpa henti dan tanpa iba menikam para penderita kanker – apanya yang pantas kita syukuri? Toh yang bersangkutan telah menyadari bahwa ia sakit dan tak mungkin disembuhkan. Mengapa Tuhan tidak membiarkannya menjalani sisa hidupnya dengan tenang – tanpa rasa sakit? Untuk apa “excess baggage” (= beban lebih) ini ?

Saya tak tahu apa jawabnya. Seorang pakar yang khusus melakukan studi dan penelitian tentang “rasa sakit”, Dr. Paul Brand, mengakui bahwa memang sayang sekali Tuhan tidak memberikan kita “tombol”, yang bila kita “klik” dapat menghentikan “rasa sakit” yang lebih merupakan “laknat” ketimbang “berkat” itu.

Tapi, kata Dr. Brand, “rasa sakit berkepanjangan yang tak jelas manfaatnya seperti itu, “hanya” berjumlah sekitar satu persen saja. Sedang yang sembilanpuluh sembilan persen sisanya, bersifat jangka pendek. Begitu “penyakit”nya teratasi, “rasa sakit” itu juga pergi.

* * *

“PUJI syukur, Tuhan, untuk rasa sakit ini!” Mengapa mesti bersyukur? Jawabnya: sebab alangkah malangnya dan celakanya, mereka yang tidak bisa merasakan sakit lagi.

Yang tak merasakan apa-apa, walaupun tangannya hangus terpanggang panci panas. Yang tak merasakan apa-apa, walaupun paku panjang menusuk telapak kakinya. Banyak penderita penyakit kusta meninggal dunia bukan karena penyakitnya, melainkan karena luka-luka yang tak tersadari itu.

“Rasa sakit” adalah anugerah Allah untuk memberi peringatan bahwa ada bahaya yang mengancam. Saya kira Anda pernah mengalami, bagaimana kepala Anda – bum! – sakit luar biasa, ketika di suatu siang yang panas terik, karena hendak cepat-cepat memuaskan dahaga, Anda menghabiskan satu contong es krim dalam dua kali telan.

Sakit ini bukan karena es krim itu masuk ke otak Anda. Tidak! Tapi tubuh Anda memberi sinyal, bahwa perut Anda tidak tahan terhadap “perubahan cuaca” yang drastis, akibat es krim yang Anda paksakan masuk dalam jumlah “besar” itu!

Atau suatu pagi, begitu bangun dari tidur, Anda merasakan ngilu luar biasa di pundak Anda? Ini bukan akibat Anda terlalu capek main tenis semalam. Tapi sangat boleh jadi, karena kadar gula darah Anda sedang meninggi! Awas!

* * *

TAPI mengapa mesti diiringi sakit? Malah kadang-kadang diiringi dengan kolik, seperti pada penderita penyakit batu empedu? Mengapa sih, tidak cukup Tuhan berbisik ke telinga kita, “Anak-Ku, empedumu tidak beres! Segeralah ke dokter, dan jaga makananmu!” Atau mengapa tidak cukup dengan menunjukkan-melalui alat-alat diagnostik-berapa tinggi kadar gula darah, tekanan darah, atau kolesterol kita?

Mengapa Tuhan mesti meng-“aniaya” kita dengan rasa sakit yang kadang-kadang keterlaluan, dan sungguh bikin orang jera? Sebabnya, saudara, adalah itu. Yaitu, supaya kita jera! Supaya kita segera bertindak!

Tuhan tahu seluk-beluk kejiwaan manusia. Yang kalau cuma dibujuk dengan halus, o, sekadar masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Saya punya teman yang didiagnosis menderita penyakit jantung. Oleh dokter ia dianjurkan untuk diit. Lalu apa yang ia lakukan? Ia “berkeliling” dari satu dokter ke dokter lain, sampai bertemu dengan dokter yang mengatakan , “O, Anda sehat walafiat! Tak perlu diit apa-apa”.

Nasihat dokter yang terakhir inilah yang ia patuhi dengan gembira. Sampai suatu ketika ia mengalami rasa sakit yang luar biasa di dadanya. Seolah-olah ditindih dengan beban berton-ton beratnya. Ia tidak tahan! Ia tidak ingin mengalami sakit seperti itu lagi. Dan ini membuat ia bersedia dioperasi, dan dengan sukarela menjalani diit. Ini berkat apa? Berkat rasa sakit yang luar biasa itu. Thank God for pain!

* * *

RASA sakit adalah anugerah Allah. Tapi jelas,. anugerah Allah yang paling tidak disukai dan disyukuri. The most unappreciated gift. Tuhan, saya yakin, memahami sikap Anda itu. Rasa sakit memang tidak enak. Tidak semua orang bisa seperti Yesus, yang menolak mencicip minuman penangkal sakit.

Tapi yang penting, janganlah lalu fanatik memusuhi, menolak dan menghindarinya!. Kehidupan moderen punya kecenderungan ini. Teknologi menolong manusia menghindari ketidaknyamanan. AC untuk menghindari panas. Sepatu untuk melindungi telapak kaki. Lalu obat penurun panas, penangkal sakit, penghilang batuk.

Munafiklah saya, bila saya katakan, saya tidak memanfaatkan produk budaya manusia itu. Tapi akhirnya semakin banyak orang mengakui, bahwa ada yang bermanfaat dan hakiki yang hilang dalam gaya hidup moderen kita.

Kini orang kian menyadari, bahwa udara segar lebih sehat ketimbang udara AC. Bahwa berjalan dengan kaki telanjang, baik untuk kesehatan. Bahwa batuk, demam, atau rasa sakit, bermanfaat bagi tubuh dalam melakukan perlawanan terhadap gangguan dari luar. Bahwa berjalan kaki naik tangga lebih sehat daripada naik-turun lift.

Saya tidak menganjurkan agar kita mem”berhala”kan atau me”romantisasikan” “rasa sakit”. Bagaimana pun, “rasa sakit” itu ya sakit; tidak nikmat. Tapi kita perlu lebih memahami, lebih memanfaatkan, dan lebih menghargai pemberian Tuhan yang satu ini. Bahwa “rasa sakit” adalah “anugrah”. Tidak selalu merupakan “tulah”.

Karena itu, kita masih akan melanjutkan lagi percakapan kita tentang “rasa sakit”. Semoga Anda tertarik mengikutinya. *

Kesakitan, Kata Penutup
Oleh Eka Darmaputera

Mengapa Tuhan tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Ayub (yang juga pertanyaan-pertanyaan kita!): ”Apa sebab kesakitan ini?” ”Mengapa mesti ada?” Dan ”Mengapa mesti saya?” Saya tak tahu apa jawabnya.

Tapi apa yang dikemukakan oleh Frederick Buechner masuk akal juga. Menurutnya, Allah tahu takaran kemampuan manusia.

Karena itu Ia juga tahu, bahwa andaikata dijelaskan pun kita toh tak akan mampu mengerti juga. Menjelaskan misteri kesakitan, adalah seperti menjelaskan teori-teori Einstein kepada jebolan kelas dua SD. Percuma!

Bukan hanya sia-sia, tapi juga apa pentingnya? Yang jauh lebih penting — bila bukan yang terpenting – adalah, setelah itu lalu apa? Bagaimana kita mesti menyikapinya? Menurut Philip Yancey, yang penting bukanlah menjawab pertanyaan ”apa sebabnya?”, melainkan ”apa respon kita?”

Kita tidak perlu risau, karena tidak mengetahui semua rahasia tentang matahari. Yang penting manfaatkanlah sinar matahari itu sebaik-baiknya! Berjemurlah! Mandikanlah tubuh Anda dengan sinar ultra violetnya yang menyehatkan! Ubahlah panasnya menjadi sumber enersi, misalnya untuk menghasilkan air panas!

* * *

KESAKITAN juga begitu. Kita tidak tahu seluk-beluk misteri yang menyelimutinya. Tapi ia akan selalu hadir dalam hidup kita. Bila setelah kita usahakan mengusirnya, ia toh tak mau pergi-pergi juga – lalu apa? Apa sikap kita? Bagaimana respon kita? Pertanyaan yang paling mendesak, menurut saya, bukanlah: ”Apakah Allah bertanggungjawab?”, melainkan ” Apakah tanggungjawab kita?”

Bila kita kembali kepada berita Alkitab, maka yang paling banter Alkitab katakan ketika berbicara mengenai ”Mengapa dan apa sebab kesakitan?”, adalah: Allah hendak menguji manusia. Melalui kesakitan, Allah melakukan ”tes kesetiaan” terhadap anak-anak-Nya.

Stephen Brown, seorang pendeta dari Florida, AS, secara hiperbolis – mungkin berlebih-lebihan – melukiskannya dengan cara yang unik. Katanya, setiap kali ada seorang yang bukan-Kristen terkena kanker, maka Allah membiarkan satu orang kristen menderita penyakit yang sama. Tujuannya? Agar dunia melihat, di mana perbedaan di antara mereka berdua.

Di mana perbedaan itu seharusnya? Sikap atau respon yang bagaimana, yang bisa disebut sebagai ”khas kristiani”?

* * *

BEBERAPA ayat Alkitab menunjukkan sikap atau respon orang Kristen yang seharusnya terhadap kesakitan dan penderitaan. Misalnya, ”Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan” (Yakobus 1:2-3). Atau ini, ”Janganlah kamu heran akan nyala api siksaan yang datang kepadamu sebagai ujian … Sebaliknya bersukacitalah sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya” (1 Petrus 3:12-13).

Dan ini, ”Bergembiralah sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semua itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu ”(1 Petrus 1:6-7). Dan sebagainya.

Dari antara banyak lagi ayat lain yang berbicara mengenai kesakitan dan penderitaan, 2 Korintus 7:8-9 adalah salah satu ”favorit” saya.

Ayat-ayat ini adalah buah perenungan dan penilaian diri Paulus, setelah ia mengirimkan surat-surat yang amat keras dan pedas kepada orang-orang Kristen di Korintus. Ia bergumul, arifkah dan tepatkah ia mengirim surat setajam itu?

Hasil perenungannya adalah, katanya, ”Meskipun aku telah menyedihkan hatimu dengan suratku itu, namun aku tidak menyesalkannya. Memang pernah aku menyesalkannya, karena aku lihat, bahwa surat itu menyedihkan hatimu – kendati pun untuk seketika saja lamanya – namun sekarang aku bersukacita, bukan karena kamu telah berduka cita, melainkan karena dukacitamu membuat kamu bertobat”

Paulus tidak bersyukur karena ia berhasil membuat orang lain sedih atau sakit hati. Umat Tuhan tidak mensyukuri kesakitan.

Apalagi mensyukuri kesakitan orang lain. Tapi orang Kristen bersyukur dan bersuka cita, apabila kesakitan itu mendatangkan berkat dan manfaat. Dalam kasus jemaat Korintus, ”karena dukacitamu membuat kamu bertobat”.

* * *

SALAH satu manfaat terbesar dari kesakitan adalah itu. Ia amat efektif dalam membawa orang berpaling kepada Allah. Secara konsisten Alkitab menekankan, bahwa yang terpenting dalam kesakitan bukanlah kesakitan itu sendiri, melainkan ”respon kita”. Apakah buah yang dihasilkannya? Apakah ia membawa kita mendekat dan terarah kepada Allah? Atau sebaliknya?

Pada ayat-ayat yang saya kutip di atas, berulang-ulang dipergunakan kata-kata, ”Bersukacitalah!” ”Bergembiralah!”. Apa kekhasan sukacita ini, dibandingkan dengan sukacita yang diupayakan melalui kata-kata ini, ”Ayo deh, jangan menangis dan cengeng begitu. Anda ‘kan orang beriman! Lihatlah sisi terangnya! Berfikirlah positif! Jangan mengeluh melulu! Sakit Anda ini kan tidak ada apa-apanya diandingkan dengan kesakitan Kristus atau penderitaan Ayub”?

Berbeda sekali! Sebab sebaliknya dari pada mempersalahkan serta memper- masalahkan orang sakit yang mengeluh karena kesakitannya, sukacita kristiani yang sejati tidak pernah menafikan atau menisbikan penderitaan orang. Sebaliknyalah. ia mengakui, bahkan ber-empati sedalam-dalamnya, menempatkan diri dalam solidaritas dengan kesakitan sesamanya. ”Menangis bersama dengan orang yang menangis”.

Bila Paulus mengatakan ”Bersukacitalah”, yang ia maksudkan bukanlah agar orang memaksakan diri terus-menerus tersenyum, seolah-olah tak terjadi apa-apa dan tidak merasakan apa-apa. Tidak! Sukacita kristiani tidak bertujuan menutupi dan menyembunyikan rasa sakit.

Tidak usah takut dituduh ”kurang beriman” bila Anda terpaksa menyeringai kesakitan! Anda tidak berdosa karena merasa sakit. Yesus pun pernah mengeluh. Paulus pun pernah mengaduh.

* * *

PERBEDAANNYA yang hakiki adalah, bahwa di dalam Tuhan kita masih dapat bersukacita dalam kesakitan kita. Kesakitan tidak kita biarkan menjadi pemberi kata akhir dalam hidup kita. Kita mengerang kesakitan dan mengeluh, tapi – kata Paulus – seperti orang sakit bersalin. Ada keyakinan dan pengharapan yang tidak akan mengecewakan, bahwa pada satu saat semua itu akan berlalu dan digantikan dengan sukacita yang luar biasa! Kesakitan tidak permanen. Ia interim. Sukacita itulah yang tetap.

Karena itu sekali lagi, yang kita syukuri bukanlah rasa sakit itu sendiri. Yang kita syukuri adalah karena melaluinya kita dikaruniai kesempatan dan kemungkinan yang istimewa, untuk ikut ambil bagian dalam kesengsaraan Kristus. Dan inilah jalan satu-satunya bila kita juga ingin mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya.

Kemudian kita juga bersyukur, karena melalui kesakitan yang sementara itu, kita digembleng dan diuji oleh Allah sendiri, untuk kemudian bila lulus menjadi orang yang lebih kokoh, lebih matang, lebih tahan uji. Sukacita kristiani di dalam penderitaan sama sekali bukanlah sukacita yang masokhistis – yang menikmati kesakitan karena kesakitan itu sendiri. Tidak!

Allah ingin agar kita terus ajek bertumbuh, berkembang, dan menjadi semakin dewasa. Potensi untuk itu adalah karunia Allah semata-mata. Tapi bagaimana agar potensi itu menjadi kenyataan, itu bukan lagi urusan Allah melainkan tanggungjawab kita sepenuhnya.

Kitalah yang mesti berusaha sepenuh tenaga untuk memperkembangkan diri. Dan kesakitan adalah unsur yang mesti ada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan itu!

Roma 5:3-5 mengatakan, ”Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan” (Roma 5:3-5).

Di manakah kita dapat memperoleh ”pengharapan yang tidak mengecewakan”? Bukan dalam iming-iming kenikmatan yang ditawarkan dunia, yang manis seketika kemudian pahit selanjutnya. Pengharapan yang tidak mengecewakan adalah pengharapan yang dibangun melalui pengalaman kesakitan, penderitaan, kesengsaraan.

Karena itu kita mesti tekun, mesti ulet, berani sengsara, dan pantang menyerah. Tapi di manakah kita dapat belajar menjadi tekun, ulet, berani sengsara, dan pantang menyerah itu? Kata Paulus, juga melalui pengalaman kesakitan, penderitaan, dan kesengsaraan. ”Kesengsaraan,” katanya, ”menimbulkan ketekunan”.

Roma 8:28 mengatakan, bahwa ”Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia”. Ini tidak berarti bahwa orang-orang yang mengasihi Allah hanya akan mengalami kebaikan.

Sama sekali tidak! Yang ingin dikatakan adalah, betapa pun buruk pengalaman kita, Allah mampu mengubah yang buruk menjadi bermanfaat untuk kebaikan.

Jadi, jangan pernah punya pikiran bahwa Allah mendatangkan penderitaan demi untuk memperlihatkan kebaikan! Alangkah kejamnya Allah yang merekayasa penderitaan seperti ini!

Di manakah Allah ketika kesakitan begitu menyengat? Kata Philip Yancey, Ia ada di dalam kita. Untuk menghasilkan yang baik dari yang buruk. Bukan sengaja menciptakan kesakitan umtuk menghasilkan kebaikan. O, tidak! Sama sekali tidak.

Diposkan pada EKA DARMAPUTERA NOTES, Uncategorized

KITA TAK PERLU MENYERAH DAN BERPUTUS ASA

Oleh: Eka Darmaputera

Allah tidak hanya terbukti kekuasaan-Nya dalam mengendalikan seluruh pergerakan dalam alam semesta. Tidak juga cuma nyata kebisaan-Nya dalam mengarahkan jalannya sejarah umat manusia. Yang tak kalah–malah mungkin lebih langsung terasa–pentingnya adalah: Ia mampu mengaruniakan “stamina” dan “tenaga dalam” untuk menghadapi pencobaan dan kesulitan hidup kita masing-masing. Ah, benarkah? Anda tak perlu malu atau menutup-nutupinya. Saya tahu pasti, bahwa setiap orang-termasuk Anda dan saya–pasti punya “salib” untuk dipikul dari hari ke hari. Jenisnya berbeda-beda. Berat dan kadarnya pun bervariasi. Tapi tak seorang pun luput dan bebas dari padanya. Juga mereka yang dari luar hidupnya kelihatan begitu mapan, ceria, dan lengkap.

Seperti pada kisah putra-putri Ayub, tanpa dinyana dan tanpa diduga, tornado datang menyerang hidup kita tiba-tiba sementara kita berpesta-pesta, dan sejak itu hidup kita pun berubah 180 derajat. Angin puyuh itu bisa perubahan drastis dari situasi di sekeliling kita; bisa kerugian besar dalam perdagangan dan usaha kita; bisa kabar buruk mengenai orang atau orang-orang yang paling kita cintai; bisa vonis dokter bahwa kita mengidap penyakit terminal. Dan macam-macam lagi. Bagaikan hujan deras yang turun tiba-tiba, memporakporandakan suasana pesta kebun yang telah kita rencanakan dengan begitu lama dan begitu cermat. Padahal ramalan cuaca memberitahukan bahwa cuaca akan cerah sepanjang minggu.

* * *
Kekristenan tidak menutup mata terhadap realitas ini. Orang Kristen malah diajar untuk menghayati kenyataan yang pengap dan berbau apek ini, sebagai bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan. Seperti durian yang lekat dengan baunya. Sebab itu, seperti Yesus, kita–walau enggan–kadang-kadang harus memantapkan hati, dan pergi juga ke “Yerusalem.” Juga ketika seluruh dunia mencegah kita, dan kita pun tahu, bahwa di “Yerusalem” itu salib telah menunggu kita. Bukankah doa kita yang terbaik adalah: “Tuhan, karuniakan daku keberanian, untuk mengubah apa yang bisa diubah; keikhlasan untuk menerima apa yang tidak mungkin berubah; serta kebijakan untuk membedakan keduanya”?

Kesulitan dan pencobaan adalah bagian dari ritme dalam musik kehidupan. Kita tidak dapat mengharapkan musim semi yang tak pernah bertukar. Suka tak suka, kita mesti bersedia dipanggang oleh panas musim kemarau, dan diguyur oleh air musim penghujan. Bahkan, seperti tulis Paul Laurence Dunbar, “Hidup adalah satu cuil roti kering dan satu sudut sempit untuk berbaring / satu menit tersenyum dan satu jam menangis / satu tetes sukacita dalam satu belanga air mata / tak pernah ada satu tawa tanpa diikuti raung
kesakitan dua kali ganda.

* * *
Di samping mengakui kenyataan bahwa hidup manusia tak pernah sepi dari masalahmasalah besar maupun kecil, iman Kristen menegaskan bahwa Allah memberikan kepada kita daya serta kekuatan untuk menghadapinya. Yaitu kekuatan untuk menjaga keseimbangan sehingga kita tidak limbung tergagap-gagap, melainkan mampu berdiri tegak di tengah terpaan pencobaan serta beratnya beban kehidupan.
Rasa mantap dan tidak mudah “grogi” ini, adalah salah satu peninggalan Yesus yang paling utama dan paling berharga bagi murid-murid-Nya. Ia tidak mewariskan sumbersumber kekayaan materi atau resep-resep untuk memperolehnya dengan mudah. Ia juga tidak meninggalkan rumus-rumus mantra yang akan mengecualikan pengikut-pengikut-Nya dari penderitaan dan penganiayaan.. Tapi Ia memberikan kepada kita warisan yang
tidak mungkin binasa, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu.” “Damai sejahtera” atau “shalom” yang, menurut Paulus, melampaui semua batas pengertian dan pemahaman manusia. Maksudnya, yang seharusnya tidak mungkin, eee ternyata mungkin. Kita mungkin untuk menjadi “daud” yang mengalahkan “goliat” kehidupan.
Sering sekali kita menyepelekan Allah. Tapi ingatlah, bila taufan pencobaan menyerang garang , dan angin kekecewaan bertiup kencang; bila gelombang tinggi kesedihan nyaris menggulung dan menelan; maka hidup Anda pasti cabik terserpih-serpih, rantas bagaikan kain tua, sekiranya Anda tidak punya kekuatan iman serta ketabahan untuk menopang Anda!

* * *
Banyak frustrasi terjadi, karena orang menggantikan Allah dengan “illah,” dan
mempercayakan diri kepadanya. Dunia pernah memper’illah’kan iptek, untuk akhirnya
mendapati bahwa iptek menghasilkan temuan-temuan, yang membuat manusia diliputi
oleh kekhawatiran dan ketidakpastian yang jauh lebih dahsyat, yang iptek sendiri tidak
mampu mengatasinya.
Manusia lalu menyembah illah kesenangan, yang akhirnya membawa manusia kepada
kesadaran, betapa konsumerisme dan hedonisme, pemujaan terhadap kemewahan materi
serta kenikmatan ragawi, cuma mampu untuk memberi kepuasan yang singkat dan
dangkal, tapi diikuti oleh kekosongan jiwa yang dalam dan kadang-kadang penyesalan
yang panjang. Kemudian. pernah pula, bahkan sampai sekarang pun, manusia
menaklukkan diri ke bawah duli illah uang dan harta benda, untuk digiring kepada
kekecewaan, sebab betapa begitu banyak hal yang berharga dalam hidup ini-seperti cinta
kasih, kesetiaan dan persahabatan-yang tak dapat dibeli dengan uang. Semua illah ini,
pada dirinya bukannya tidak penting. Saya akui, semuanya begitu vital dan amat
bermanfaat bagi manusia. Asal kita ingat batasnya. Mereka tidak bisa meninggalkan
damai sejahtera dan bahagia sejati dalam hati manusia.

* * *
Cuma Allah yang bisa! Berlawananan dengan kecenderungan orang untuk kian skeptis
terhadap setiap bentuk kepercayaan kepada Allah–tahayul bentuk baru, kata mereka–
saya justru ingin menegaskan betapa iman, dalam arti menghayati, mengalami dan
mereaktualisasikan kembali, damai sejahtera yang telah dikaruniakan Allah, adalah
jawaban atas semua permasalahan manusia zaman ini. Dengan iman-bahkan yang sekecil
biji sesawi pun, kata Yesus–kita dapat menguruk lembah-lembah kesunyian dan
menjadikannya bukit-bukit kegirangan. Dengan iman–yang menegaskan bahwa tidak ada
yang mustahil bagi orang yang percaya–kita dapat menyalakan kembali cahaya
pengharapan baru ke wilayah kekuasaan pesimisme dalam kehidupan manusia.
Apakah ada di antara Anda yang kini sedang berjalan menapaki “lembah-lembah
kematian”? Atau yang sedang berada di ambang ketidakpastian, sebab ditinggalkan oleh
yang paling tercinta? Yang mulai membatu hatinya, sebab kekecewaan yang terlampau
dalam dan menyakitkan, yang disebabkan justru oleh orang-orang yang paling dekat?
Yang kehidupan rumah tangganya mulai retak dan rontok di sana sini? Ayo, berhentilah
meratap dan menggugat! Bangkitlah dan hadapilah kehidupan seraya katakan: “Apa pun
yang akan terjadi, terjadilah! Aku punya Allah yang bisa!”
Jangan sampai tangan kita sendirilah yang menutup pintu bagi kuasa Allah untuk bekerja
dengan leluasa dalam hidup kita! Jangan biarkan telinga kita menjadi tuli dan mata kita
menjadi buta, sehingga tidak bisa lagi mendengar dan melihat tanganNya yang
mengulurkan damai sejahtera!

Apakah semua yang saya katakan ini bukan cuma hiburan kosong, yang manjur hanya
bagi mereka yang tak pernah dewasa perkembangan jiwanya? Iming-iming sorga yang
tak punya relevansi apa-apa di tengah-tengah kenyataan dunia? Jawab saya: “YA, semua
itu memang nonsens bagi orang yang apriori sudah menutup diri, dan tidak memberi
kesempatan kepada Allah untuk membuktikan ke”bisa”an-Nya.”
Siapa pun tidak bisa membuat Anda kenyang, bila Anda tidak mau makan nasi yang ada
di depan Anda. Tak seorang pun serta-merta menjadi kaya, hanya karena di bawah
kakinya di bawah permukaan tanah tersimpan emas berton-ton beratnya, sampai ia
menggali tanah itu dan menjadikan emas itu benar-benar miliknya.

Diposkan pada EKA DARMAPUTERA NOTES

Kesakitan, Megafon Tuhan yang Paling Kuat

Oleh Eka Darmaputera

Kita telah membahas betapa “kesakitan” bukan saja merupakan jeritan manusia, tetapi juga teriakan Tuhan. “Megafon” atau “pengeras suara” yang dipakai Tuhan untuk menggugah kesadaran manusia. Mengapa “kesakitan”? Sebab bisikan halus saja sering diabaikan. Sedang bujukan manis sampai ancaman keras pun acap kali tidak dihiraukan.

Cuma “kesakitan”lah yang berbunyi cukup lantang untuk membuat manusia tersentak. Memaksanya menengok memeriksa diri, lalu berpaling kembali kepada Tuhan.

Sejarah umat Israel membuktikan ini. Ketika hidup mereka mulai mapan dan serba kecukupan, begitu kita baca dari Perjanjian Lama, mereka cenderung melupakan Sumber-nya. Mereka mengabaikan hukum-hukum Tuhan. Mereka melecehkan peringatan keras para nabi.

Sampai, sebagai akibatnya, mereka masuk ke lubang bencana yang mereka gali sendiri. Baru mereka menjerit kesakitan. Baru mereka berteriak minta tolong. Ternyata “kesakitan” dan “penderitaan” inilah yang mampu membuat mereka mengenali serta mengakui kejahatan-kejahatan mereka, dan menggiring mereka kembali ke pangkuan Allah. Bukan kenikmatan atau kesenangan, melainkan kesakitan dan penderitaan.

Ini tentu tidak ideal. Siapa sih yang menyukai kesakitan? Allah sendiri tidak Ia malah dengan tidak jemu-jemunya mengingatkan, ” Hati-hatilah, supaya apabila engkau sudah makan dan kenyang, mendirikan rumah-rumah yang baik serta mendiaminya, dan apabila lembu sapimu dan kambing dombamu bertambah banyak, dan emas serta perakmu bertambah banyak, dan segala yang ada padamu bertambah banyak, jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan Tuhan, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan” (Ulangan 8:12-14). Ini yang ideal. Tapi sayang, hampir selalu dilupakan orang.

Yang terjadi adalah, dengan tidak jera-jeranya, manusia mengulangi dan mengulangi kesalahan yang sama. Sampai Allah mengeluh, “Lembu mengenal pemiliknya, tapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tapi umat-Ku tidak memahaminya” (Yesaya 1:3). Sehingga terpaksa, dengan “megafon”-Nya – “kesakitan” dan “penderitaan” – Allah memanggil manusia untuk kembali. Cara yang menyakitkan dan tidak ideal. Tapi perlu. Lagi pula, pilihannya ya cuma satu itu.

* * *

“KESAKITAN” dan penderitaan bukan ternyata saja “megafon” Tuhan yang paling kuat, tetapi juga paling efektif. Paling berhasil-guna. Paling “ces pleng”

Anda tidak percaya? Baik – untuk membuktikannya, saya persilakan Anda Anda pergi ke ruang tunggu Bagian “Perawatan Intensif” (ICU) di rumah sakit mana saja. Philip Yancey — dalam “Where is God When it Hurts?” yang sering saya sebut sebagai sumber inspirasi rangkaian tulisan ini — dengan amat mengesankan melukiskan apa terjadi di situ.

Di tempat itu, tulisnya, Anda akan bertemu dengan segala macam jenis orang. Campur aduk antara yang kaya, yang miskin, yang perlente, yang kumuh, yang tua, yang muda, yang intelektual, yang buta huruf, yang agamis, yang ateis – apa saja. Ruang tunggu ICU (barangkali) adalah satu-satunya tempat di bumi ini, di mana perbedaan-perbedaan tak secuilpun punya makna apa-apa.

Beraneka-ragam orang itu diikat menyatu oleh ikatan yang amat kuat, walau mengerikan. Yaitu, oleh keprihatinan akan kesakitan serta penderitaan seorang yang amat dekat, sahabat atau kerabat, yang sedang sekarat. Kesenjangan sosial-ekonomi dan perbedaan agama, serta merta menguap lenyap. Ketegangan rasial serta etnis tak setitik pun membekaskan tanda.

Tidak jarang dua orang yang sebelumnya tak saling mengenal, kini saling merangkul dan menghibur, kemudian menangis bareng tanpa malu-malu. Ada yang untuk pertama kali merasa terdorong untuk berdoa, atau memanggil pastor atau pendeta.

Semuanya dipersatukan oleh satu perasaan: alangkah berharganya, tapi juga alangkah rapuhnya kehidupan! Ketika orang berada begitu dekat dengan kematian, barulah ia menyadari betapa pentingnya kehidupan.

Ideal sekali, bukan? Ya. Dan yang “ideal” itu dimungkinkan oleh realitas kesakitan dan penderitaan! Agaknya cuma “megafon kesakitan”-lah yang terdengar cukup nyaring dan bekerja cukup efektif, untuk menggiring beraneka-ragam manusia ini untuk sama-sama menekuk lutut mereka dan memalingkan hati mereka kepada Allah.

Tidak heran, kata Helmut Thielicke, yang ada ialah “pendeta rumah sakit”. Tidak ada “pendeta rumah makan” atau “pendeta rumah karaoke”.

* * *

INI tidak berarti bahwa Allah membiarkan “kesakitan”, supaya manusia berpaling kepada-Nya. Sebab kalau ini benar, wah, alangkah “egois”nya dan “kejam”nya Allah. Tega menyakiti anak-anak-Nya, sekadar supaya hasrat dan kepentingan-Nya terpenuhi. Tidak! Allah sendiri tidak menyukai “kesakitan”. “Kesakitan tidak ada dalam skenario penciptaan-Nya. Sang Putra, Yesus Kristus, harus menempuh “kesakitan” dan “penderitaan”, justru untuk membebaskan manusia dari padanya.

Tapi yang jelas, ketika “megafon kesakitan” ini berbunyi, Allah sedang mengumumkan bahwa ada sesuatu yang salah. “Sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh, dan sama-sama merasa sakit bersalin” (Roma 8:22). “Sakit bersalin” artinya, ada kesakitan tapi juga pengharapan.

* * *

JOHN DONNE adalah penyajak berkebangsaan Inggris pada abad 17. Ia secara langsung mengalami perihnya sengatan kesakitan. Bukan cuma istrinya yang amat ia cintai, Anne, mati meninggalkannya. Tapi ia sendiri, tak lama setelah itu, didapati mengidap penyakit yang tak tersembuhkan, dan yang membuat ia amat menderita.

Tapi di tengah kesakitannya itu, ia mendengar “megafon Tuhan” . Dari tempat pembaringannya, tanpa mampu lagi menulis, ia melahirkan karya-karya terindah yang pernah ditulis orang tentang makna kesakitan. Salah satunya adalah Meditation XVII, yang seperti dikutip oleh Philip Yancey, antara lain berbunyi,

“Ketika seseorang meninggal dunia, sebuah bab tidak dicabik keluar dari buku, melainkan diterjemahkan ulang ke dalam bahasa yang lebih indah. Setiap bab mesti diterjemahkan seperti itu. (Untuk ini) Allah mempekerjakan beberapa penerjemah. Beberapa bagian diterjemahkan ulang oleh usia. Beberapa oleh penyakit. Beberapa oleh perang. Beberapa oleh keadilan. Tapi tangan Tuhan ada di tiap terjemahan.

Tangan-Nya pula yang akan mengikat kembali halaman-halaman yang telah terserak-serak, untuk ditaruh di perpustakaan di mana setiap buku akan saling terbuka satu terhadap yang lain. Demikianlah lonceng (kematian) ini memanggil kita semua. Terlebih-lebih aku, yang telah dibawa begitu dekat melalui kesakitan ini”.

Untuk orang lain, kematian adalah sebuah titik; sebuah akhir kehidupan. Bagi Donne, kematian adalah sebuah tanda tanya. Apakah aku siap menghadap Dia? Pendek kata, ia menyadari betapa hidupnya – bahkan di tempat tidurnya dan di tengah erangan kesakitannya – bukan tanpa makna.

Karena itu ia mengerahkan seluruh daya yang ada padanya, memanfaatkan kesempatan khusus ini untuk melatih disiplin rohani-nya. Berdoa, mengaku dosa, menulis sebuah jurnal (yang kemudian dijadikan sebuah buku Devotions). Ia memindahkan perhatian utamanya, tidak lagi kepada diri sendiri, melainkan kepada yang lain-lain.

Dalam Devotions, Donne memperlihatkan perubahan sikap yang mencolok terhadap “kesakitan”. Ia mulai dengan doa agar kesakitan diangkat dari dirinya. Tapi ia mengakhirinya dengan doa agar “kesakitan”nya dikuduskan , dan ia dididik melauinya. Ia masih mengharapkan mujizat. Namun andaikata itu tidak terjadi, ia tahu Allah sedang me”murni”kannya melalui tanur api.

* * *

BETAPA jelas, tujuan hidup manusia bukanlah untuk sekadar merasa aman dan nyaman, bebas dari persoalan, kesakitan atau tantangan. Sekiranya kita sedikit saja mau peka terhadap realitas di sekitar kita, maka kita akan menyadari betapa mustahilnya Tuhan menciptakan dunia ini, dengan maksud agar kita berpesta ria.

Bagaimana kita dapat berpesta ria, bahkan tidur dengan tentram, ketika pada saat yang sama kita tahu dua per tiga penduduk dunia pergi tidur dengan perut kosong – setiap malam? Sungguh tidak mungkin untuk percaya bahwa tujuan hidup kita adalah untuk bernikmat-nikmat, ketika kita menyaksikan penderitaan anak-anak yang harus mencari nafkah pengganti orang tua mereka, atau pemuda-pemuda yang membunuh masa depan mereka dengan mengikatkan diri pada narkoba, atau apa yang dialami oleh mereka yang tercabut dan kehilangan segala-galanya dan kini “terjebak” di kamp-kamp pengungsian.

Bisa saja kita menutup mata, dan menjadi penganut hedonisme. Tapi semua itu pasti akan berakhir, ketika kesakitan dan penderitaan pada akhirnya berlabuh pada hidup kita sendiri. Ketika kenyerian dan kengerian setiap detik mengetuk pintu mengganggu ketentraman tidur kita.

Para hedonis, yaitu mereka yang melihat kenikmatan sebagai tujuan, haruslah menyumpal telinga mereka dengan kapas banyak-banyak. Sebab megafon “kesakitan” dan “penderitaan” sesungguhnya berbunyi amat lantang!

Diposkan pada EKA DARMAPUTERA NOTES

Menyikapi Bunuh Diri, Diiring Simpati

Masih dalam rangkaian pembahasan Hukum Keenam, “JANGAN MEMBUNUH”, kini kita akan membahas sekadarnya masalah “bunuh diri”. Tentu saja! Sebab kalau masalah “euthanasia” saja yang notabene tak pernah secara eksplisit muncul dalam alkitab kita bicarakan, betapa lagi soal “bunuh diri”.

Ditambah lagi akhir-akhir ini, ketika jumlah peristiwa bunuh diri meningkat keras dan kian sering terjadi. Dari yang dilakukan karena orang karena tak tahan terus-menerus diimpit kemelaratan, sampai pada yang dilakukan oleh orang yang na’uzibillah kaya-rayanya. Ingat konglomerat yang terjun bebas dari tingkat 56 sebuah hotel?

Dari yang pelakunya orang dewasa, sampai yang pelakunya, astagafirulah, masih sangat belia. Ingat anak 12 tahun yang gantung diri, lantaran keluarganya tidak mampu menyediakan uang 2,500 rupiah? Dan . jangan lupa Anda sebutkan, semakin populernya metode terorisme dengan “bom bunuh diri”!

Alkitab, baik PL maupun PB, ada menyebutkan beberapa kasus bunuh diri. Ada yang melakukannya karena soal harga diri, seperti yang dilakukan oleh Ahitofel (2 Samuel 17:23), Abimelekh (Hakim-Hakim 9:54), atau Saul (1 Samuel 31:4-5). Prinsip mereka agaknya, “Lebih baik mati berkubur debu, ketimbang hidup berkalung malu”.

Tapi ada pula yang melakukannya dengan prinsip yang lain, yaitu prinsip, “Kurelakan tubuhku hancur lebur, asal semua sama-sama jadi bubur”. Inilah yang melatar-belakangi tindakan nekat Samson, (Hakim-Hakim 16:23-31) dan Zimri (1 Raja-Raja 16:18).

Yudas, si orang Iskariot itu? O, dia lain lagi. Ia menggantung diri, membawa penyesalan yang menurut perasaannya tak mungkin terobati, atas kesalahan yang dalam anggapannya tak mungkin terampuni (Matius 27:3-5). Alasan yang masuk akal juga, sebab apa sih yang lebih menjijikkan dari pada mengkhianati cinta?

* * *

SEBENARNYA, bagaimana sikap Alkitab? Sangat jelas dan amat tegas! Alkitab menolak dan mengutuk keras. Sebagaimana kita ketahui, ia mengutuk setiap bentuk “pembunuhan”.

Sabda Allah melalui Nuh, “Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya . sebab Allah membuat manusia menurut gambar-Nya sendiri” (Kejadian 9:5-6). Karena itu, walau terempas ke dasar penderitaan yang terdalam sekali pun, seorang anak Tuhan seperti Ayub tetap menolak dengan tegas anjuran untuk bunuh diri (Ayub 2:9-10).

Di mata orang Yahudi, “bunuh diri” adalah “suatu tindakan yang sengaja dilakukan, dengan tujuan menghancurkan diri sendiri”. Jadi, sepenuhnya negatif! Sepenuhnya destruktif!

Sebab itu dalam adat mereka, mayat orang yang meninggal karena bunuh diri harus dipertontonkan secara terbuka, tak boleh ada perkabungan baginya, dan pantang dikuburkan sampai matahari terbenam. Lagi pula . mesti dikuburkan terpisah dari yang lain.

Namun, toh di cela-cela keketatan mereka menaati hukum yang sangat termashur itu, hebatnya, mereka juga cukup realistis. Mereka menyadari, bahwa dalam kehidupan nyata bisa saja muncul kasus-kasus ekstrem, di mana tindakan bunuh diri yang resminya tidak benar itu justru diperlukan.

Penulis sejarah, Yosefus, mencatat peristiwa yang mengerikan sekaligus mengesankan sehubungan dengan itu. Ketika benteng Masada diserang musuh, dan segala harapan mempertahankannya telah punah, apa yang terjadi? Eliezer, sang panglima, memerintahkan pasukannya membantai semua orang Israel yang ada, dan setelah itu membunuh diri mereka sendiri!

“Kita masih punya pilihan bebas, yaitu untuk mati secara terhormat .,” demikian ia berseru, “Biarlah perempuan-perempuan kita mati ketimbang dicemari, dan laki-laki kita membuktikan bahwa mati lebih baik ketimbang jadi budak . Kematian membawa kemerdekaan bagi jiwa . Karena itu, tak sudi diperhamba, marilah paling sedikit kita mati sebagai orang-orang merdeka!”. Heroik sekali. Hari itu Yosefus mencatat, ada 960 orang membunuh diri mereka.

* * *

NAMUN Yosefus juga mencatat sisi yang lain dari persoalan kita. Dalam hal ini, ia malah ikut langsung terlibat. Tatkala dalam insiden Yotapata, ia mengimbau dengan sangat agar orang-orang Yahudi tidak bunuh diri.

Dalam imbauannya itu ia berkata, antara lain, “Mengapa kalian menyia-nyiakan kesatuan yang begitu indah antara tubuh dan jiwa, dan ingin menceraikannya? Takut mati bagi seseorang yang mesti mati, adalah sama pengecutnya, dengan orang yang ingin mati ketika ia belum seharusnya mati.

Ketahuilah, bahwa tak ada kepengecutan yang lebih besar, dari pada tindakan seorang nakhoda yang, lantaran takut pada badai yang akan datang, lalu menenggelamkan seluruh kapal, bahkan sebelum prahara itu benar-benar tiba.

Sesungguhnya, bunuh diri adalah tindakan melawan kodrat, dan sekaligus tindakan melecehkan Tuhan. Mereka yang mati terhormat memenangkan kemuliaan, tapi yang mati karena bunuh diri mewarisi kekelaman”.

Begitulah bagi orang Yahudi, bunuh diri adalah dosa. Walaupun kadang-kadang sekali, bisa saja seseorang dibenarkan merelakan nyawa karena iman, demi keyakinan, dan untuk Allah-nya.

Kata Yesus, “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal” (Yohanes 12:25)

* * *

TAPI dalam kenyataan, kita tahu, iman bukan satu-satunya motif orang mencabut nyawa sendiri. Malah boleh dikatakan, yang begini termasuk jarang sekali. Yang lebih sering terjadi adalah, orang melakukannya karena “menthok”.

Karena semua jalannya seolah-olah membentur tembok. Ia tak mungkin ke mana-mana lagi. Ia tak punya pilihan apa-apa lagi.

Orang melakukannya, karena merasa tak sanggup lagi memikul beratnya beban kehidupan. Tak mampu lagi melanjutkan perjalanan. Karena tenaganya telah terkuras habis. Semangatnya telah padam. Dan yang ia rasakan sekarang, hanyalah kesakitan dan kepenatan semata-mata, sementara di depan ia tak melihat secercah pun cahaya pengharapan atau kemungkinan perbaikan. Sebab itu, mengapa memperpanjang derita?

Masalah bunuh diri, saya akui, adalah masalah etis. Tapi mengingat sifat permasalahannya, penting sekali saya tekankan, bahwa “masalah etis” ini wajib kita bahas dengan “sikap etis” pula! Ini perlu saya tekankan, karena – sebagaimana berulang-ulang saya kemukakan — betapa sering orang membusungkan dada berkata hendak menegakkan moral, tapi praktik dan cara-caranya sama sekali tidak bermoral.

“Sikap etis” yang saya maksud adalah, sikap bersedia menempatkan diri dalam posisi dan situasi si pelaku. Melihat dari sudut pandangnya. Ikut tergetar oleh sedu sedannya. Ikut tersayat oleh kepedihannya. Mendengar dengan jelas rintihannya yang tak terucapkan.

Maksud saya, kita tidak datang sebagai seorang guru yang mau mengajari, atau sebagai seorang pengkotbah yang mau mencerca, atau sebagai seorang penasihat yang berpretensi bijak dan tahu semua. Tapi datang semata-mata sebagai sahabat.

Bukan dengan menyandang kaidah-kaidah moral, tapi dengan mulut mencibir. Melainkan datang membawa empati dan simpati, yang memancar langsung dari hati. Tidak asal membenarkan, sebab kita mesti membuat penilaian. Tapi penilaian yang kita buat, adalah penilaian dari dalam situasi si penderita. Penilaian yang memahami sepenuhnya pilihan-pilihan yang kongkret, sulit, dan pelik, yang dihadapi saudara kita.

* * *

DENGAN berbekal sikap seperti itu, maka yang pertama-tama harus kita katakan adalah, bahwa bunuh diri selalu terjadi dalam konteks dan realitas kehidupan yang tidak sehat, tidak wajar, dan tidak ideal. Dalam situasi normal, sikap yang wajar tentu saja adalah berusaha mempertahankan, memelihara, bahkan mengembangkan kehidupan. Bukan justru dengan sengaja menghilangkannya.

Karena itu, dalam situasi normal, jelas sekali bunuh diri adalah sesuatu yang absurd. Tidak dapat dibenarkan. Ia melawan naluri kehidupan. Sekiranya semua berjalan normal, hampir tak mungkin orang bunuh diri karena terpaksa.

Sebenarnnya kita atau siapa pun tak perlu mengatakan bahwa “bunuh diri itu salah”. Sebab, kalau cuma itu, siapa yang belum tahu? Semua sudah mengetahuinya. Lagi pula tak seorang pun yang menginginkannya.

Mungkin yang belum banyak orang tahu adalah, bahwa kitalah yang tidak normal, apabila dalam situasi yang tidak normal, kita mau memaksakan ukuran-ukuran yang normal.

Yang paling penting dalam permasalahan kita, sebenarnya bukan soal benar-tidaknya atau boleh-tidaknya bunuh diri. Sekali lagi, ini telah jelas bagi semua.

Yang jauh lebih penting untuk dinyatakan dan ditanyakan adalah: bagaimana sikap kita ketika mengatakannya? Apakah dengan cemooh? Atau dengan simpati?

O saudaraku, dengarkanlah apa yang saya katakan ini! Yaitu bahwa tak ada kesempatan lain, di mana KASIH dan SIKAP KRISTIANI SEJATI begitu dibutuhkan, dari pada ketika saudara kita sedang berada di ambang bunuh diri.

Sayang sekali, yang lebih sering terjadi adalah mereka sendirian. Sendiri, tanpa teman sepenanggungan. Persis seperti ketika di senja itu, di taman Getsemane, Yesus hanya membutuhkan teman berjaga, tapi mesti kecewa. Eka Darmaputera

Diposkan pada EKA DARMAPUTERA NOTES

LAODIKIA, “NO TO STATUS QUO”

Akhirnya, tibalah kita ke jemaat ketujuh, jemaat terakhir, yang disapa Tuhan dalam kitab Wahyu. Jemaat Laodikia. Jemaat yang istimewa karena inilah satu-satunya jemaat–di antara tujuh yang disebut–yang tentangnya Kristus cuma mencela. Tak satu kalimat pun Ia memuji.

Ia padahal kita kenal begitu objektif dan selalu berpikir positif. Yang dianggap sampah oleh masyarakat, tanpa malu-malu Ia hargai. Musuh “bebuyutan”nya–orang-orang Farisi–walau habis-habisan Ia kecam kalau salah, toh tak segan-segan Ia puji bila memang pantas.

Akan tetapi, mengapa kali ini Ia berbeda? Seberapa “hitam”-kah jemaat Laodikia sebenarnya, sampai ia terpilih menjadi contoh buruk? Artinya, jemaat yang tak punya apa-apa untuk ditiru?

Kota Laodikia, di mana jemaat Tuhan yang “unik” ini terletak, didirikan oleh Antiokhus dari Siria untuk istrinya, Laodike. Sebagai kado untuk sang tersayang, wajarlah bila segala sesuatu diperhitungkan dan dipersiapkan sebaik-baiknya. Dan memang terbukti! Laodikia segera berkembang menjadi kota yang besar, ramai, dan terkenal. Ada tiga ciri khas kota ini yang membuatnya terkenal ke mana-mana.

Pertama, Laodikia terkenal sebagai salah satu pusat kegiatan perbankan dan keuangan terbesar. Karenanya, ia juga merupakan sebuah kota yang termakmur dan terkaya di dunia. Pada tahun 61, ketika terjadi gempa bumi hebat dan sebagian kota ini hancur, ia menolak bantuan dari luar karena merasa cukup kaya untuk membangun kembali dirinya sendiri. Itulah yang saya namakan “mentalitas Laodikia”: merasa tidak butuh siapa-siapa, kecuali dirinya sendiri.

Kedua, Laodikia termasyhur karena kerajinan pakaian jadinya, khususnya yang terbuat dari wol. Bulu domba eks Laodikia terkenal lembut, mengkilap, serta berwarna hitam keungu-unguan. Bulu domba itu amat indah dan anggun, terutama bila dikenakan sebagai jubah kebesaran. Inilah “mentalitas Laodikia” yang lain: begitu bangga dan yakin diri akan kecantikan dan ketampanannya. Obsesinya adalah dikagumi orang.

Ketiga, Laodikia juga kesohor karena mutu sekolah kedokterannya. Dua dokter alumni sekolah ini, Zeuxis dan Aleksander Filalethes, begitu menjulang reputasinya sehingga wajah dan nama mereka diabadikan di atas uang logam mereka. Namun, yang membuat prestasi medis kota ini lebih melambung lagi adalah salep mata dan salep telinga yang mereka produksi. Tidak heran, orang-orang Laodikia merasa diri sehat selalu. Pendengaran dan penglihatan mereka istimewa.

Kelebihan-kelebihan yang membanggakan ini membuat mereka lupa akan sisi kenyataan mereka yang lain, sisinya yang buram, yaitu betapa rentan dan rawan keadaan mereka sebenarnya. Misalnya, bagaimana untuk kebutuhan air mereka saja, mereka sepenuhnya harus tergantung dan dipasok dari luar. Berarti, sekali musuh berhasil menguasai sumber air, tamatlah riwayat mereka dalam sekejap.

Bukankah ini adalah pelajaran yang indah serta peringatan yang penting, agar kita tak pernah terlena, terbuai, atau terhanyut oleh rasa bangga, rasa bisa, dan rasa tak perlu siapa-siapa? Agar kita selalu menyadari bahwa setiap orang memiliki titik lemahnya masing-masing, sebab itu selalu waspada? Bahwa tak ada orang yang serba cukup pada dirinya sehingga tidak perlu siapa-siapa atau apa-apa lagi dari orang lain?

* * *

Tragis sekali, mentalitas Laodikia agaknya juga merambah masuk ke jemaat. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Anda salah sangka dan akan kecewa berat bila Anda menyangka bahwa cuma gerejalah yang meng-“garam”-i dunia. Di dalam kenyataan–for better or for worse–tak terhindarkan, dunia pun meng-“garam”-i gereja. Mengapa tak terhindarkan? Selama gereja berada di dalam dunia, interaksi antara keduanya adalah suatu keniscayaan.

Perjumpaan ini bisa mencelakakan, tapi juga bisa memperkaya dan mendewasakan. Gereja lalu dipaksa untuk terus-menerus merumuskan penghayatan imannya kembali, supaya dapat dipertanggungjawabkan di hadapan dunia, dan tidak digulung habis oleh dunia. Hanya bila perumusan imannya dapat dipahami oleh dunia, gereja bisa meng-“garam”-i dunia.

Tapi pada saat yang sama harus pula saya tekankan, bahwa gereja hanya dapat meng’garam’i dunia ini, kalau ia mampu menawarkan sesuatu yang lain dan yang lebih baik kepada dunia. Gereja yang sama saja dengan dunia, tidak berguna apa-apa bagi dunia. Dalam pengertian inilah, pertobatan tak boleh ditandai dengan sekadar berganti agama. Pertobatan menuntut perubahan yang radikal dan menyeluruh, termasuk perubahan mentalitas. Mentalitasnya mesti lain daripada mentalitas dunia.

* * *

Yang saya sebut terakhir inilah yang tidak terjadi di jemaat Laodikia. Mereka memang berhasil membangun sebuah jemaat yang relatif besar, kaya, dan indah. Namun pada dasarnya, mentalitas mereka masih mentalitas lama; “mentalitas Laodikia”. Merasa diri serbacukup, serbabisa, dan tak memerlukan apa pun dari siapa pun, termasuk dari Tuhan sekali pun. Tidak menyadari kerapuhan mereka sendiri.

Karena itulah, Kristus datang dengan kecaman yang sangat tajam, “Engkau berkata: Aku kaya dan aku tidak kekurangan apa-apa. Engkau tidak tahu bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang ….”

Kelihatannya kaya, tapi seungguhnya melarat. Bangga dan bahagia, tapi malang. Begitu yakin akan kemujaraban “salep mata” mereka, tapi seungguhnya buta. Begitu genitnya mereka berlenggak-lenggok dengan jubah wol kebesaran mereka yang lembut berwarna hitam keungu-unguan, mereka tidak merasakan ketelanjangan mereka. Bahwa untuk “air” yang mereka konsumsi sehari-hari saja, mereka begitu tergantung dari luar!

Belum pernah terjadi, Kristus begitu murka sampai Ia berkata, “Aku akan memuntahkan engkau dari mulutKu”. Orang yang mengenal jemaat Laodikia barangkali akan bertanya-tanya, “Yesus merasa muak dan mual terhadap jemaat yang sekaya, sebesar, secantik, setenteram itu? Mengapa?”

Yesus pun menjawab, “Karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas”.

Astaganaga, apakah kita tidak keliru dengar? Bukankah bagi banyak orang, jemaat yang “suam-suam kuku” seperti Laodikia, justru adalah jemaat yang ideal? Istilah yang dipakai adalah jemaat yang moderat; yang tenang; yang tidak terseret ke ekstrem kiri atau pun kanan. Yang betul-betul “gereja”; bukan cuma “sekte”. Yang betul-betul dewasa, tidak meledak-ledak lalu melempem bagaikan anak puber.

Salah besar! Saya seratus persen sepakat dengan William Barclay yang mengatakan bahwa kecaman Kristus terhadap jemaat di Laodikia mengingatkan dan memperingatkan gereja-gereja Tuhan masa kini akan tiga hal yang mahapenting.

Pertama, tidak ada sikap yang lebih dibenci Yesus–di samping kemunafikan–daripada “ketidakpedulian”. Seorang penulis dapat menulis sebuah biografi yang bagus, apabila ia benar-benar mencintai atau membenci subjeknya. Orang yang acuh tak acuh adalah orang yang paling sulit untuk diajak berurusan. Karena itu, persoalan terbesar bagi pemberitaan Injil di seluruh dunia, khususnya di Barat, dewasa ini, bukanlah karena orang menolak atau tidak percaya kepada Allah, tapi karena orang tidak peduli terhadap keberadaan-Nya. Sikap ada atau tidak ada Allah, sebodo amat.

Dan akhirnya, tidak ada yang lebih mengkhawatirkan bagi masa depan gereja daripada kecenderungan formalisme serta kecondongannya untuk mempertahankan status quo. Artinya, sikap “tidak mau repot” dan “tidak mau ribut”.

Gereja seperti ini begitu mencintai dirinya sendiri, dan hanya peduli akan rasa amannya sendiri. Berhenti menjadi gereja yang misioner. Karenanya, tak pantas lagi disebut sebagai gereja. Ia akan dimuntahkan dari mulut Yesus.

Kedua, bagi Yesus, tidak ada sikap yang lebih tidak kristiani daripada sikap netral, alias tidak mau bersikap atau enggan berpihak. Orang Kristen yang netral adalah orang Kristen yang tidak mau mengambil keputusan pribadi, tidak mau memikul risiko dan tidak bersedia membayar harga yang menjadi kewajibannya. Kekristenan yang hambar. Garam yang tawar hanya pantas untuk dibuang dan diinjak-injak orang.

Ketiga, tidak ada kecenderungan yang lebih berbahaya ketimbang kecenderungan untuk menjadi kekristenan yang konvensional yang kehilangan makna fungsionalnya baik ke dalam bagi orang-orang Kristen sendiri, apalagi ke luar bagi dunia. Jumlah orang Kristen di Indonesia memang cukup banyak, tapi apakah kekristenan punya dampak dan makna langsung dan nyata dalam hidup mereka?

Kekristenan yang kehilangan makna adalah kekristenan yang apinya telah padam, dan hanya menyisakan abu. Kekristenan yang telah kehabisan sarinya, dan tinggal menyisihkan sepah. Konon ada kata-kata Yesus yang tak terekam dalam Injil, “Siapa yang berada di dekat-Ku, berada di dekat api”. Tidak mungkin suam-suam kuku.

Kecenderungan menyukai status quo–tidak repot-repot dan tidak ribut-ribut–adalah kecendeungan universal. Orang merasa lebih aman dan juga lebih bisa diterima oleh sekitar.

Namun, sekali lagi, kekristenan status quo adalah kerkristenan abu; kekristenan sepah. Karena itu, kekristenan sampah. Makanan yang tidak panas dan tidak dingin mudah jadi busuk.

Berbeda dengan makanan yang sungguh-sungguh panas atau sungguh-sungguh dingin. Tidak heran Paulus mengingatkan, “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala”. “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepadanya”.

Diposkan pada EKA DARMAPUTERA NOTES

FILADELFIA, KEKUATANMU TAK SEBERAPA, NAMUN …

Dari antara tujuh kota yang disebut dalam kitab Wahyu, Filadelfia adalah yang termuda. Kota ini baru dibangun kurang lebih 150 tahun sebelum Kristus oleh raja Attalus II untuk menyatakan cintanya yang luar biasa kepada saudara laki-lakinya, Eumenes.

Karena itulah, ia diberi nama “Filadelfia”. Berasal dari sebuah kata dalam bahasa Yunani “philadelphos”, yang artinya: orang yang mencintai saudara (laki-laki)-nya. Sungguh romantis dan amat menyentuh hati, bukan?

Namun bukan cuma itu, tujuan Attalus II membangun kota. Sang raja bukan sekadar ingin ber”sentimentil-ria”, melainkan mempunyai tujuan yang lebih jauh dan lebih substansial.

Apa tujuan yang lebih substansial itu? Ini erat hubungannya dengan letak atau lokasi yang dipilih. Filadelfia tidak dibangun, misalnya, di daerah perbukitan yang berhawa sejuk dan berpemandangan indah. Tidak pula di wilayah pesisir, agar berpotensi untuk bertumbuh menjadi kota niaga yang ramai. di kelak kemudian hari.

Tidak! Dengan sengaja, Filadelfia dibangun tepat di titik-silang perbatasan tiga wilayah sekitar–Misia, Lidia, dan Frigia–yang walaupun masih tergolong satu negeri, namun sangat berbeda dalam latar-belakang budayanya. Attalus II mempunyai ambisi atau rasa keterpanggilan yang khusus: ingin menjadikan kota yang dibangunnya itu sebagai sebuah “kota misioner”.

Misioner? Ya, dan saya harap Anda tidak terlalu terkejut dengan istilah tersebut. Sebab yang saya maksudkan dengan “kota misioner” adalah sebuah kota yang mengemban sebuah misi atau tugas-panggilan tertentu.

Filadelfia, oleh raja Attalus II, hendak dijadikan ujung tombak sebuah misi yang besar dan mulia, yaitu menebar kebudayaan Yunani ke wilayah-wilayah sekitar. Ke wilayah-wilayah yang “belum-yunani” (baca: belum beradab), teristimewa daerah-daerah Lidia dan Frigia.

Dan dalam hal ini, Filadelfia boleh berbangga hati karena “misi yunanisasi” yang diembankan ke bahunya berhasil ia laksanakan dengan sukses. “Mission impossible” menjadi “mission accomplished”.

Dalam jangka waktu tidak lebih dari 100 tahun–ini berarti, tidak sampai dua generasi–,orang-orang Lidia telah berhasil di”yunani”kan. Dibuat sama sekali lupa akan tradisi serta bahasanya sendiri. Berubah menjadi 100 persen Yunani, malah mungkin lebih, sebagaimana lazimnya para petobat baru. Mereka kini bukan hanya berbahasa. tapi juga berfikir, merasa, bahkan bermimpi, seperti orang-orang Yunani!

Apakah hasil seperti ini kita nilai sebagai terpuji atau justru sebagai tragedi, tentu amat tergantung kepada siapa, bagaimana dan dari mana orang menilainya. Tapi apa pun penilaian kita, yang jelas adalah Filadelfia telah sukses dengan misi yang diembannya.

Dan yang lebih hebat lagi, ialah bahwa semua ini dilakukannya melalui jalan damai, tanpa darah yang tertumpah, tanpa benci yang tersemai.

“Filadelfia”, tulis Ramsay, adalah “pusat peresapan serta penyerapan bahasa dan budaya Yunani di tanah yang damai dan dengan jalan damai pula”. Benar sekali.

* * *

Sekali lagi, supaya tidak disalah-mengerti, saya menyatakan, bahwa tak ada sedikit pun niat saya di sini untuk mendiskusikan apalagi mempromosikan, apakah “yunanisasi” (seperti halnya “kristenisasi” atau “islamisasi” atau “sekularisasi” atau “kuningisasi”, serta “- isasi-isasi” lainnya) itu sebagai tindakan yang benar atau salah, baik atau jahat, dan sebagainya.

Ini tentu tidak berarti bahwa penilaian itu tidak penting. Dengan tegas saya nyatakan, bahwa pada satu waktu Anda dan saya, tak dapat tidak, harus membuat penilaian dan mengambil sikap yang jelas dan tegas terhadapnya.

Pilihan untuk tidak mengambil sikap, adalah sebuah sikap pula–sikap pengecut yang jauh dari terpuji! Yang saya maksudkan hanyalah, penilaian itu tidak kita lakukan pada saat ini, di sini, melalui tulisan ini. Anda dan saya dapat melakukannya di tempat lain, di forum lain, atau pada kesempatan lain.

Jadi tanpa bermaksud memberikan penilaian etis terhadap “yunanisasi” itu sendiri, saya cuma ingin menambahkan beberapa catatan yang ringkas, sederhana, tetapi saya anggap penting. Catatan saya yang pertama adalah, bahwa semua “-isasi” itu–betapa pun berbeda-beda tujuan dan isinya–pada hakikatnya satu saja esensi atau intinya, yaitu suatu upaya penaklukan.

Artinya, upaya untuk menarik pihak lain ke pihak si penakluk. Upaya agar yang ditaklukkan itu bersikap dan berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki si penakluknya.

Kata “penaklukan” barangkali memang kedengaran terlalu tajam, terlalu kasar, dan terlalu “tembak langsung”, teristimewa bagi telinga-telinga kita yang telah terbiasa dengan eufemisme. Namun, itulah yang sebenarnya terjadi.

Terlepas dari apakah ini baik atau buruk, semua bentuk interaksi antarmanusia dan antarkelompok–tanpa bisa kita hindari–sedikit atau banyak sebenarnya selalu mengandung unsur “penaklukan” tersebut! Apakah itu relasi suami-istri, orangtua-anak, atasan-bawahan, antaragama, antarkelompok,–semuanya mengandung unsur usaha takluk-menaklukkan. Hanya bentuk dan caranya saja yang berbeda-beda.

* * *

Catatan kedua saya adalah sukses Filadelfia memberi peringatan kepada kita bahwa upaya penaklukan yang paling efektif ternyata bukanlah melalui jalan militer, melainkan melalui jalan budaya; jalan tanpa kekerasan. Bukan dengan mengacungkan ujung sangkur atau menghunus kelewang. Bukan dengan jalan membayar massa berwajah sangar. Bukan pula dengan jalan adu banyak dalam membeli suara. Tapi dengan persuasi dan adu argumentasi. Dengan bajik menawarkan pilihan yang lebih baik, seraya memberi kebebasan kepada yang bersangkutan untuk dengan sebebas-bebasnya menentukan pilihan–tanpa tekanan.

Sebab itu, kita mengecam sekeras-kerasnya upaya “penaklukan” melalui jalan suap atau janji-janji yang menyesatkan. Baik ini terjadi di bidang politik, bisnis, maupun agama. Orang yang menganggap diri sukses karena menghasilkan banyak orang “Kristen supermi”, sebenarnya tidak memenangkan apa-apa untuk Tuhan.

Di sisi lain, kita juga menolak dengan sama tegasnya semua upaya penaklukan melalui pemaksaan kehendak; dengan membangun rasa takut, atau melalui cara-cara pamer kekuatan, apalagi cara-cara teror dan kekerasan. Ini bukanlah cara yang beradab dan berbudaya.

Seekor macan tidak dapat kita persalahkan karena melakukan kekerasan terhadap hewan lainnya. Akan tetapi mudah-mudahan Anda setuju, cara tersebut hanya pantas untuk hewan, tidak pantas dan tidak layak dilakukan oleh manusia yang berbudaya, apalagi beragama.

ADA hal lain yang menarik untuk diceriterakan mengenai Filadelfia. Pada tahun 17 di jazirah itu terjadi gempa bumi hebat yang menghancurluluhkan Sardis serta sepuluh kota lainnya.

Namun Filadelfia selamat, tidak ikut-ikutan hancur luluh. Toh ini tidak serta-merta berarti ia tidak menderita karenanya.

Luput dari gempa besar, selama bertahun-tahun lamanya, Filadelfia menderita akibat gempa-gempa susulan yang datang dan pergi. Selama itu pula, rasa waswas dan cemas menjadi pengalaman hidup mereka sehari-hari.

Hari ini bagian ini yang runtuh, esok hari bagian lain yang roboh. Banyak penduduk kota tidak berani kembali ke rumah mereka. Begitu, bertahun-tahun lamanya.

Bukankah ini juga menggambarkan warna kehidupan kita kadang-kadang? Tidak hancur luluh seketika, namun untuk jangka waktu yang cukup lama kita mengalami goncangan yang bertubi-tubi dan terus-menerus, akibat gempa-gempa susulan?

Menghadapi keadaan seperti ini, dua kemungkinan bisa terjadi. Kemungkinan pertama adalah pengalaman traumatis tersebut berhasil mematahkan semangat kita, membunuh rasa percaya diri kita, dan memadamkan api pengharapan kita. Saya teringat akan mereka yang akibat banjir besar tempo hari, lalu menjadi gugup dan gagap, setiap kali hujan mulai turun, apalagi bila terjadinya di malam hari.

Namun ada kemungkinan yang kedua. Orang justru keluar dari situasi kemelut itu, lebih perkasa, lebih tegar, lebih teruji. Seperti Bambang Tetuko keluar dari gemblengan maha berat di kawah Candradimuka, menjadi Gatutkaca yang terkenal berurat kawat serta bertulang baja.

* * *

FILADELFIA agaknya berhasil menempuh jalur yang kedua. Ia berhasil lulus dari ujian, dan berkembang menjadi sebuah kota yang amat besar.

Sejarah mencatat bahwa ketika bala tentara Kerajaan Turki (yang Islam) menggilas habis seluruh Asia Kecil, Filadelfia berhasil bertahan sebagai sebuah kota Yunani Kristen. Sampai abad 14, ia berfungsi sebagai benteng kekristenan yang terakhir di Asia kecil.

Di mana letak kekuatan ekstra Filadelfia? Tuhan bersabda, “Aku tahu bahwa kekuatanmu tidak seberapa, namun engkau menuruti firman-Ku dan engkau tidak menyangkal nama-Ku”.

Secara objektif dan kuantitatif, kekuatan fisik jemaat Filadelfia memang tak seberapa. Usia mereka tidak seberapa. Bagaikan anak balita, mereka lemah dan rentan. Jumlah mereka pun tidak seberapa. Kecil sekali. Minoritas dari minoritas.

Pengaruh politik dan ekonomi mereka pun tak seberapa. Mereka pasti tidak mempunyai wakil di parlemen atau di kabinet. Tidak memiliki partai sendiri.

Namun, alangkah benar yang disabdakan Tuhan: kekuatan anak-anak Tuhan tidak terletak pada semua itu. Karena itu alangkah bodohnya, alangkah sia-sianya, dan alangkah mubazirnya, bila semua daya dan dana dikerahkan dan dicurahkan hanya untuk menambah jumlah penganut atau meningkatkan pengaruh sosial, politik atau ekonomi!

Kunci kekuatan orang Kristen tidak terletak di situ. Daya tahannya tidak bergantung dari faktor-faktor itu, tapi terletak di mana dan bergantung pada apa? Jawab Tuhan: pada ketaatan dan kesetiaan orang kepadaNya! “Namun engkau menuruti firmanKu dan engkau tidak menyangkal nama-Ku.”

Alangkah tragisnya, sebab bukankah justru dua hal inilah yang paling sering kita abaikan? Demi menambah kekuatan, kita tega melanggar perintah-perintah-Nya, serta bertubi-tubi melukai hati-Nya.

Demi memperkuat diri, kita sampai hati menyangkali Dia dan mengorbankan integritas keimanan kita. Dan yang paling mencelakakan adalah, ketika kita berusaha mencari kekuatan dengan menyandarkan diri kepada “yang kuat”; menaklukkan diri kepada kehendak “yang banyak”; serta melacurkan iman serta keyakinan kita untuk menyenang-nyenangkan hati mereka “yang berkuasa”. Pada saat kita berpikir karena itulah kita kuat, sebenarnya kita hancur.

“Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepadanya.”

Diposkan pada EKA DARMAPUTERA NOTES

SARDIS, HIDUP PADAHAL MATI

Bila Anda ingin memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai bagaimana gilang-gemilangnya masa silam yang bisa begitu kontras bagaikan siang dan malam bila dibandingkan dengan suramnya kenyataan sekarang, tak bisa lain, Sardis adalah contoh yang paling mencolok. Bila banyak kota lain, semakin tua usianya justru semakin tampak muda sebab terus-menerus diperbarui dan dibangun kembali, Sardis sebaliknya. Sardis adalah kota yang mengalami degenerasi. “Engkau dikatakan hidup,” kata Tuhan, “padahal engkau mati.”

Kurang lebih tujuh abad sebelum surat dalam kitab Wahyu ini ditulis, Sardis adalah salah satu kota terbesar di muka bumi. Sebuah metropolis. Di situlah raja-raja Sardian memerintah dengan kemewahan yang tak terbayangkan, apalagi terkatakan.

Legenda tentang kemakmuran dan kekayaannya membuat Sardis bagaikan sebuah negeri yang cuma eksis dalam dunia dongeng. Sungai Pactolus yang membelahnya, konon, mengalirkan emas. Lama setelah Sardis lenyap dari muka bumi, orang yang terlalu amat sangat kayanya masih disebut sebagai “sekaya Croesus.” Croesus adalah raja Sardis yang paling kaya.

Di masa pemerintahan raja diraja Croesus inilah, Sardis berhasil mencapai titik puncak kejayaannya, tapi sekaligus juga meluncur cepat bagaikan terjun bebas ke titik nadir. Hancur lebur. Kehancuran biasanya tidak terjadi tiba-tiba, maka wajarlah untuk bertanya: apa sih yang telah terjadi?

Sebenarnya mengenai kemungkinan akan hancurnya Sardis ini–walaupun waktu itu dianggap sebagai kemustahilan–Croesus telah diberi peringatan sebelumnya. Sayangnya, orang seperti dia, yang sedang mabuk kepayang oleh kesuksesannya sendiri, sedang tenggelam dalam “kejumawaan,” lazimnya sulit luar biasa untuk bisa menerima kabar buruk.

Pada suatu ketika, karena haus kuasa yang tak kunjung terpuaskan serta rasa yakin diri yang meluap-luap, Croesus memutuskan untuk menyeberangi Sungai Halys, dan memerangi raja diraja Cyrus dari Persia. Sebelum itu, ia terlebih dahulu meminta pertimbangan serta petunjuk dari seorang cenayang terkenal di kuil Delphi. Sang dukun, konon, menjawab, “Sekali Anda menyeberangi Sungai Halys, Anda akan membawa sebuah kerajaan besar ke kehancuran.”

Mendengar petunjuk itu, hati Croesus semakin mantap. Ia yakin, kali ini ia pasti akan berhasil memaksa negeri adikuasa itu bertekuk-lutut untuk selama-lamanya. Tak pernah sedikit pun terlintas di benaknya, bahwa ramalan itu sesungguhnya ditujukan kepadanya, bahwa kerajaan yang dibawa ke kehancuran itu tak lain adalah Sardis; bahwa yang akan membawa Sardis ke kehancuran tak bukan adalah Croesus sendiri; dan bahwa keputusannya untuk menyeberangi sungai Halys adalah awal dari proses keruntuhan tersebut. Ah, mana mungkin?!

Konon setelah menyeberangi sungai, Croesus segera dipukul mundur oleh Cyrus yang memang telah bersiap diri. Namun ini toh tak sedikit pun membuat Croesus berkecil hati.

Kegagalan kali ini, begitu pikirnya, hanyalah suatu sukses yang tertunda. Ia telah memperhitungkan semuanya. Ia akan membawa pasukannya kembali ke kota, mengurung diri rapat-rapat, dan dari situ menunggu saat yang tepat untuk menyerang balik.

Croesus telah menyiapkan stok logistik yang cukup, siap menunggu sampai bala tentara Cyrus kehabisan ransum. Pada saat itulah, ia akan melumat habis pasukan yang pasti lemas kelaparan itu. Taktik yang lumayan brilian, bukan?

Namun, Cyrus yang kenyang makan asam garam peperangan, bukan tak tahu akan siasat semacam itu. Ia segera mengadakan sayembara: barang siapa berhasil memberitahukan jalan masuk ke benteng Croesus yang terkenal tak bisa ditembus itu, akan diberi hadiah yang besar.

Hal yang tak terduga, yaitu yang diperkirakan tak mungkin terjadi, ternyata terjadi. Faktor “X” seperti inilah yang biasanya tak pernah diperhitungkan oleh orang-orang sesukses Croesus. Mereka hanya mengandalkan kalkulasi otaknya. Padahal tak semua peristiwa dalam sejarah ini berjalan sesuai dengan skenario otak manusia, bukan?

Seorang prajurit Persia secara tak sengaja melihat seorang prajurit Sardis keluar melalui sebuah celah sempit yang terdapat di tembok benteng yang tebal itu, guna mengambil kembali topi besinya yang terjatuh ke luar. “Bila orang bisa keluar dari situ,” demikian pikir prajurit Persia itu, “orang pun pasti akan bisa masuk dari situ.”

Hal ini ia sampaikan kepada Cyrus. Dan, benar, melalui celah sempit itulah, Cyrus kemudian memasuki kota, merangsek dan menghancurkan pasukan Sardis dalam waktu singkat. Kehancuran Sardis menjadi kian lengkap setelah Cyrus, untuk mencegah kemungkinan pemberontakan, melarang orang Sardis membawa atau memiliki senjata apapun.

Anak-anak Sardis hanya boleh dididik menyanyi dan menari, tidak boleh diajar berkelahi atau ilmu bela diri. Demikianlah, dengan perlahan tapi pasti, Sardis kian melapuk, mengalami degenerasi. Kelihatannya hidup, padahal mati.

Tragedi yang menimpa Sardis mengandung pelajaran yang amat berharga bagi kita semua, yaitu betapa kehancuran bisa tiba begitu mendadak, juga ketika orang sedang berada di puncak rasa keberhasilan dan kejayaannya. Solon, si orang paling bijak di Yunani, pernah datang berkunjung dan dipameri kehebatan serta kegemilangan Sardis. Akan tetapi, mata orang bijak tak pernah silau oleh penampakan luar semata.

Dengan peka Solon melihat bagaimana di balik rasa yakin diri yang berlebih-lebihan itu, Sardis sebenarnya sedang mengalami proses pembusukan yang tak tertahankan. Perjumpaannya dengan Croesus inilah yang kemudian memeteraikan ucapan Solon yang abadi, “Jangan katakan seorang pun sukses atau berbahagia, sebelum ia mati.” Yang penting bukanlah siapa yang bisa tertawa sekarang, melainkan siapa yang akan tertawa terakhir nanti.

Menurut pengalaman saya, tak ada kearifan hidup yang lebih penting untuk diingat daripada yang berikut ini. Satu, “Jangan cepat patah semangat tatkala gagal, dan jangan gampang tekebur menepuk dada tatkala sukses.” Dua, “Berharaplah akan yang terbaik, tapi bersiaplah untuk yang terburuk.” Karenanya, tiga, waspada, waspada, dan waspada! Setebal-tebalnya tembok dan benteng Sardis, ternyata mempunyai celah juga!

Dalam konteks keadaan seperti itulah, jemaat Tuhan di Sardis berada. Banyak enaknya. Sebab sepintas lalu, bila diamati dari luar, Sardis yang sedang repot memikirkan nasibnya sendiri tak punya minat untuk mengganggu kehidupan jemaat.

Sebab itu, berbeda dengan beberapa jemaat lain, jemaat Sardis tidak mengalami tantangan berarti baik dari dalam maupun dari luar. Aman terkendali. Namun, saudara, justru dalam keadaan “aman-aman saja” inilah, bahaya yang jauh lebih besar sesungguhnya sedang mengintai. Bahaya apa? “Engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati.”

“Aku tahu segala pekerjaanmu,” kata Tuhan. Berarti jemaat ini penuh dengan kegiatan dan kesibukan. Yang rutin maupun yang istimewa. Namun, ingatlah, kualitas kehidupan sebuah gereja tak pernah bisa diukur hanya dari jumlah kegiatan serta kesibukannya. Kalau sibuk, yang harus segera dipertanyakan adalah sibuk apa?

Heran bin ajaib, jemaat Sardis relatif bebas baik dari gangguan bida’ah dan ajaran-ajaran sesat dari dalam, maupun dari tekanan penganiayaan dari luar. Namun bila kita pikirkan lebih mendalam, keadaan ini sebenarnya tidaklah terlalu mengherankan.

Di balik segala keburukannya, bida’ah dapat lahir karena hati yang mencari, dan otak yang berfikir. Memang cara mencarinya salah, dan apa yang mereka temukan menyesatkan. Ini amat kita sayangkan. Namun, otak yang berpikir dan hati yang terus mencari–for better or for worse–adalah tanda adanya kehidupan.

Jemaat Sardis bebas dari gangguan bida’ah, bukan karena kesadarannya yang murni tentang ortodoksi, tetapi semata-mata karena ia “hidup, padahal mati.” Karena otaknya berhenti berpikir. Karena hatinya malas mencari.

Jemaat ini juga relatif aman dari tekanan eksternal. Tapi kembali di sini, tak ada yang patut disyukuri ataupun dibanggakan dari kenyataan ini. Karena penyebabnya tak lain adalah, jemaat ini hanya kelihatannya saja hidup, padahal mati. Karena itu tidak dianggap sebagai bahaya atau ancaman. Tak perlu diperhitungkan. Kalaupun macan, macan kertas atau macan ompong.

Pengalaman jemaat Sardis dan peringatan Tuhan sebaiknya mendorong gereja-gereja Tuhan di Indonesia segera memeriksa diri. Kita sering dengan bangga mengatakan bahwa gereja Tuhan sedang mengalami kebangkitan yang luar biasa sekarang ini. Mudah-mudahan saja. Tapi benarkah?

Jangan-jangan kita cuma kelihatannya saja hidup, padahal mati. Isi kesibukan kita hanyalah bagaimana memperbesar, memperkaya, memperkuat dan memuaskan diri sendiri. Ibadah beruibah menjadi entertainment. Injil menjadi komoditas bisnis. Atas keadaan ini, saya katakan “Awas!” Orang yang kelewat gemuk amat rentan terhadap penyakit yang bisa menyerang tiba-tiba, dan fatal akibatnya.

Padahal Tuhan sudah mengingatkan, “Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu, karena secara demikian juga nenek-moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu” (Lukas 6:26) Gereja yang hidup dan penuh vitalitas, selalu berada di bawah serangan. Tidak aman-aman saja. Karena itu, biasanya tidak terlalu gemuk. Awas! “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepadanya.”

Diposkan pada EKA DARMAPUTERA NOTES

TIATIRA, DI DALAM DUNIA, TAPI BUKAN MILIK DUNIA

Jemaat keempat yang disapa oleh Roh Kudus, menurut Wahyu Yohanes, adalah jemaat Tiatira. Di antara tujuh surat yang ada, inilah surat yang paling panjang bagi jemaat di kota yang paling “kurang penting.”

Mengapa ada keganjilan ini? Karena masalah yang dijamah adalah masalah abadi yang klasik dan universal, alias persoalan yang dihadapi oleh gereja Tuhan, kapan saja dan di mana saja. Persoalan apa? Persoalan bagaimana ”gereja” harus menjalin relasi yang benar dengan “dunia.”

Tidak banyak yang kita ketahui mengenai Tiatira, kecuali antara lain ia adalah kota dagang yang lumayan penting, dan kota dengan tangsi militer yang cukup besar. Yang terakhir itu adalah sesuai dengan fungsinya sebagai “bumper” bagi Pergamus, sang ibu kota.

Perannya dalam kehidupan agamaniah tidak terlalu berarti. Di kota ini, tidak ada pusat peribadahan yang besar, baik bagi kaisar Romawi maupun bagi dewa-dewi Yunani. Sebab itu, Tiatira bukanlah ancaman serius bagi jemaat Kristen.

Kalau begitu, apa persoalan yang dihadapi oleh jemaat Tuhan di kota ini sehingga mesti ada surat yang begitu panjang? Para ahli menduga, persoalannya terkait dengan cirinya sebagai sentra industri kerajinan rumah.

Tiatira memang terkenal karena itu. Lidia, misalnya, berasal dari kota ini. Dan menurut catatan Lukas, ia bergerak di bidang tekstil, sebagai “seorang penjual kain ungu.”

Sesuai dengan kebiasaan pada waktu itu, para perajin atau usahawan sejenis membentuk atau mengikatkan diri dalam serikat-serikat sekerja. Jadi, misalnya, ada serikat sekerja untuk para perajin kain wol, untuk para perajin kain linen, untuk para perajin tembaga, untuk para pembuat roti, dan sebagainya.

Orang-orang kristen yang sehari-hari bekerja sebagai usahawan kacil atau perajin, tentu tergabung pula ke dalamnya. Sebab sejak awal, orang kristen tidak hidup eksklusif atau menyendiri. Mereka hidup memasyarakat.

Persoalan muncul apabila serikat-serikat sekerja tersebut menyelenggarakan pertemuan-pertemuan mereka. Pertemuan-pertemuan ini bukan saja untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut bisnis.

Di samping itu, biasanya ada pula acara ibadah bersama di kuil-kuil, ada acara makan bersama dengan makanan yang telah dipersembahkan kepada para dewa, dan tak ketinggalan ada pula acara-acara yang seronok, namun tak terpuji secara moral.

Bagaimana orang-orang Kristen harus menyikapinya? Apakah mereka harus ikut serta? Atau tidak? Ini ternyata bukanlah pilihan yang sederhana.

Bila mereka ikut serta, mereka menghadapi persoalan hati nurani, persoalan iman, persoalan moral. Namun bila mereka menolak mengikutinya, mereka menghadapi persoalan sosial serta konsekuensi ekonomi.

Mereka akan dikucilkan dari kehidupan bermasyarakat, dan diboikot dari kegiatan ekonomi.

Itulah tantangan yang harus mereka hadapi dari luar. Tantangan eksternal. Cukup berat, namun agaknya tidak terlampau membawa pengaruh negatif bagi kehidupan iman mereka.

Tuhan, di awal surat, memuji jemaat ini, kata-Nya, “Aku tahu segala pekerjaanmu: baik kasihmu maupun imanmu, baik pelayananmu maupun ketekunanmu. Aku tahu bahwa pekerjaanmu yang terakhir lebih banyak dari yang pertama.”

* * *

Persoalan yang lebih serius justru datang dari dalam. Tantangan internal. Ini wajar-wajar saja, bukan? Musuh yang tersembunyi dalam selimut selalu lebih berbahaya ketimbang yang terang-terangan berdiri di hadapan.

Kata Tuhan, “Tetapi Aku mencela engkau, karena engkau membiarkan wanita Izebel yang menyebut dirinya nabiah, mengajar dan menyesatkan hamba-hamba-Ku supaya berbuat zinah dan makan persembahan-persembahan berhala.”

Kita tidak tahu apakah “Izebel” adalah nama sebenarnya, atau nama simbolis untuk mengingatkan orang kepada istri raja Ahab, yaitu ratu yang berhasil membuat nabi sekaliber Elia keder dan nyaris putus asa menghadapinya.

Yang jelas, “Izebel” dalam kitab Wahyu adalah seorang tokoh gereja. Seorang nabiah. Banyak mengajar umat. Luar biasa!

Tentang ajarannya, kita juga tak tahu persis. Namun dapat diperkirakan, bahwa intinya kira-kira adalah: “Apa pun halal, apa saja boleh. Sebab Kristus telah memerdekakan kita!”

Berzinah? “Ah, tak perlu risau! Ukuran zinah atau tidak itu kan buatan manusia. Lakukan saja apa yang Anda mau! Asal suka sama suka, tidak memaksa, dan sama-sama happy!”

Soal makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala? “Kalau Anda menyukainya, why not? Pokoknya iman Anda tidak terganggu, kan? Lha soal orang lain terganggu, ini bukan tanggung jawab Anda. Masak orang lain yang terbelakang pertumbuhan imannya, kok kita yang mesti bertangung jawab.” Begitu kira-kira.

Ajaran ini, walau menarik, jelas bertentangan dengan ajaran yang benar. Menurut Paulus, walaupun benar segala sesuatu itu halal, namun tidak semuanya berfaedah.

Orang Kristen tidak boleh mengejar kesenangannya sendiri saja, tetapi mengejar apa yang membangun dan yang mendatangkan damai sejahtera. Dan … tidak menjadi batu sandungan bagi siapa pun juga!

* * *

Jadi jelaslah, di balik persoalan yang spesifik itu, tersembunyi suatu persoalan yang saya katakan “klasik” dan “universal,” yaitu bagaimana “gereja” harus menjalin hubungan dengan “dunia.”

Apakah, seperti yang diajarkan “Izebel,” kita menghanyutkan diri saja? Atau sebaliknya, mengasingkan diri sepenuhnya dari padanya? Yang satu hanya menekankan fakta bahwa “gereja ada di dunia,” sedangkan yang lain cuma menekankan fatwa bahwa “gereja bukan milik dunia.”

Manakah yang benar di antara keduanya? Jawab saya, yang benar adalah kedua-duanya. “Gereja ada di dalam dunia, tetapi bukan milik dunia.” In the world but not of the world. Antara “gereja” dan “dunia” ada hubungan dialektis, tapi tidak dualistis.

Sebab itu, seperti kata H. Richard Niebuhr, pemahaman monistis bahwa gereja harus semata-mata terarah ke luar dunia (= other-worldly), atau, bahwa gereja wajib semata-mata terarah ke dunia (= inner-worldly), sama-sama salah. Yang benar adalah: gereja berada di dunia, namun hanya terarah kepada Allah!

Gereja berada di dalam dunia. Artinya kita menolak dualisme, bahwa dunia di sini dan gereja di sana, tanpa ada kena-mengena.

Kita menolak dikhotomi, bahwa gereja sebagai komunitas orang beriman di seberang sini, tidak mempunyai titik singgung apapun dengan dunia yang (dianggap) merupakan konspirasi orang-orang tak beriman di seberang sana. Tidak! Gereja ada di dalam dunia, dan diutus ke dalam dunia.

Namun gereja bukanlah milik dunia. Artinya, dengan sama tegasnya kita juga menolak akomodasionisme. Kompromi, konsesi, konformisme dengan dunia, sampai batas tertentu, memang tak terhindarkan.

Seperti kata Paulus, kita “menjadi segala sesuatu bagi semua orang.”

Kesalahan konsesi tidaklah terletak pada konsesi itu sendiri melainkan, seperti kata Niebuhr, “karena ia biasanya diberikan terlalu cepat, sebelum ada upaya perlawanan yang mati-matian sampai mencucurkan darah.”

Jadi bagaimana? Gereja harus ada di dalam dunia. Hadir di sana. Menjadi berkat sebesar-besarnya di sana. Seperti “kota di atas bukit,” ia menjadi contoh.

Tidak mengasingkan diri dari dunia, namun kritis terhadap dunia. Tidak ketinggalan zaman, tapi tidak pula cuma mengikuti roh-roh zaman.

Percayakah Anda, bahwa krisis identitas dan kredibilitas yang banyak dihadapi oleh gereja-gereja Tuhan dewasa ini, tidak disebabkan karena “gereja berada dalam dunia,” melainkan karena “dunia berada di dalam gereja”? Inilah saatnya kita memeriksa diri dengan jujur, roh-roh apa yang bersemayam di gereja-gereja kita. Jangan-jangan adalah roh-roh dunia, yang kita beri baju Roh Kudus!

“Akulah,” kata Tuhan, “yang menguji batin dan hati orang, dan Aku akan membalaskan kepada kamu setiap orang menurut perbuatannya. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepadanya

Diposkan pada EKA DARMAPUTERA NOTES

PERGAMUS, TEMPAT DI MANA IBLIS BERTAKHTA

Pergamus tidak sekaya Efesus. Tidak pula seindah Smirna. Namun begitu, toh ada yang menyebutnya, longe clarissimum Asiae, artinya, “kota paling kesohor di (provinsi) Asia.”

Betapa tidak. Penguasa datang dan pergi silih berganti, mulai dari Aleksander Agung dari Makedonia sampai Attalus III dari Roma, tapi selama hampir 400 tahun lamanya, ia mampu bertahan sebagai ibu kota.

Kota ini memang tak sesukses Efesus atau Smirna, dalam hal menjadi pusat niaga. Namun dalam hal budaya, o, jangan tanya. Pergamus mengungguli keduanya.

Perpustakaannya menyimpan tak kurang dari 200.000 gulungan naskah atau perkamon (berasal dari kata ‘pergamus’!). Cuma Aleksandria, yang memiliki perpustakaan terbesar di dunia, yang mampu mengalahkannya.

Di samping kota budaya, Pergamus adalah juga pusat agama. Paling sedikit ada dua tempat keramat yang paling terkenal, kondang sampai ke mancanegara.

Yang pertama, adalah kuil pemujaan bagi Zeus, dewa tertinggi serta termulia orang Gerika. Dan yang kedua adalah kuil pemujaan untuk Asklepios, sang dewa penyembuh nan sakti mandraguna. Karena ramainya orang dari segala penjuru dunia berkunjung serta berziarah ke kuil yang kedua, seorang penulis wisata menjuluki Pergamus sebagai “Lourdes-nya dunia masa lampau.”

Yang menarik adalah Wahyu Yohanes mencatat bagaimana Tuhan justru menyebut Pergamus sebagai “takhta Iblis.” Apakah ini disebabkan karena adanya kuil-kuil pemujaan itu?

Mungkin saja. Tapi agaknya bukan itulah alasan utamanya. Sebab bagaimana pun sesatnya dan bagaimana pun bejatnya yang dilakukan orang di dua kuil tersebut, pengaruh buruknya terhadap orang-orang Kristen nyaris tiada.

Yang lebih mungkin menurut saya adalah, terkait dengan kenyataan bahwa Pergamus adalah ibu kota provinsi. Sebagai pusat pemerintahan, tak terhindarkanlah Pergamus menjadi pusat kultus pemujaan kaisar. Apa dan bagaimana kultus ini sebenarnya?

Sepintas kilas, kultus ini memberi kesan sebagai praktik ritual yang cukup beradab dan tidak terlalu “jahat.” Namun dalam kenyataan, akibat robekan taringnya dan cakar mautnyalah, berjatuhan ribuan martir sebagai korban.

Bukan cuma dalam jumlah yang luar biasa banyak, tapi juga dengan cara yang luar biasa biadab. Masuk akallah, bila karena ini, Tuhan menyebutnya sebagai tempat kota di mana Iblis bertakhta.

* * *

Di atas telah saya katakan, bahwa sepintas lalu kultus pemujaan kaisar tidak memberi kesan jahat, atau sebagai sesuatu yang sangat mengganggu iman. Ditinjau dari sudut pandang tertentu, kultus ini lebih merupakan sebuah “ritus politik,” ketimbang sebuah “ritus keagamaan.”

Mirip-mirip upacara penghormatan bendera setiap tanggal 17 di negeri kita, atau sumpah setia kepada tanah-air seperti yang lazim di Amerika. Upacara “sekuler” yang, kecuali bagi sekelompok kecil orang-orang “ekstrem,” biasanya dianggap sebagai “tidak ada apa-apanya.” Artinya, boleh-boleh saja dilakukan, sebab tidak ada kaitannya dengan–dan karena itu tidak bakal mengganggu–integritas iman seseorang.

Awal mula kelahiran kultus ini adalah juga karena urgensi politis, yaitu bagaimana menjaga integrasi wilayah kekaisaran Roma yang luasnya meliputi tiga benua? Apakah yang dapat dijadikan pemersatu atau perekat batin yang efektif, bagi suatu masyarakat yang pasti luar biasa keaneka-ragaman agama, bahasa, dan budayanya?

Satu-satunya pilihan yang paling masuk akal dan bisa diterima oleh semua pihak adalah kaisar sebagai lambang pemersatu. Kesetiaan kepada kaisar dimanfaatkan sebagai pengikat solidaritas seluruh warga pax romana, yang diharapkan bisa mengatasi–tanpa menghilangkan–perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka.

Tuntutan pelaksanaan kultus ini ringan, fan caranya pun, sederhana, beradab, tidak berlebih-lebihan. Sengaja dibuat begitu agar tidak justru memancing keberatan dan perlawanan banyak pihak.

Setahun sekali, pada tanggal yang telah ditetapkan, setiap warga negara Roma diwajibkan datang ke kuil terdekat. Di situ, di depan patung sang Kaisar, ia diminta mengambil sikap hormat, membakar dupa, sambil mengucapkan “Caesar adalah Kurios.”

Setelah itu, mereka pun memperoleh kartu bukti yang menyatakan bahwa mereka telah melakukan kewajiban mereka. Beres. Mereka boleh pulang ke rumah mereka, atau ke mana saja. Sekeluar dari tempat itu, mereka bebas sebebas-bebasnya memuja dewa apa pun yang mereka percayai, dan dengan cara apa pun yang mereka yakini. Sama sekali tidak rumit, bukan?

Soal keharusan mengucapkan kalimat “Caesar adalah Kurios,” sebenarnya juga tak perlu dipermasalahkan benar. Sebab istilah “kurios,” walaupun bisa berarti “Tuhan,” juga bisa sekadar berarti “tuan.”

Seperti kata “lord” dalam bahasa Inggris, atau “heer” dalam bahasa Belanda, atau “gusti” dalam bahasa Jawa. Bisa dipakai untuk manusia, bisa pula untuk Tuhan. Tidak salah, bukan. menyebut kaisar itu “tuan”?

* * *

Tidak sedikit orang Kristen pada waktu itu yang memilih untuk bersikap “luwes” lagi “bijaksana.” Tak ada soal menyebutkan “tiga kata” itu.

“Bukankah orang Kristen mesti taat kepada negara dan hormat kepada raja?” begitu kilah mereka membenarkan diri. Saya membayangkan, dalih yang paling banyak mereka pakai adalah juga dalih yang paling sering kita pakai, yaitu “Yang penting kan apa yang ada di dalam hati kita. Tuhan pasti melihat hati kita, bukan cuma tangan kita atau mulut kita. Biar pun tangan kita membakar dupa, Ia tahu hati kita tidak meyangkali-Nya.”

Orang-orang yang “luwes” dan “bijaksana” ini umumnya bisa “survive” dan selamat di segala zaman. Walaupun tak bisa dipastikan, apakah hati mereka tenteram sejahtera.

Namun, sebagian orang Kristen lainnya memilih mengambil sikap yang mungkin kita sebut “radikal,” “ekstrem,” atau “kaku.” Orang-orang “kaku” ini, sungguh mati, menghormati kaisar mereka.

Menghormatinya dengan sepenuh serta setulus hati. Tidak sekadar menjilat kaki. Namun, mereka menolak menyebut kaisar sebagai “kurios.” Bukan karena mereka tidak tahu bahwa “kurios” juga bisa sekadar berarti “tuan.”

Mereka tahu itu, tapi mereka tidak mau menipu diri dan mencari-cari pembenaran. Bagi mereka, hanya Yesuslah satu-satunya yang layak mereka sebut “Kurios.” Tak ada yang lain. Dan tak bisa lain.

Tentu saja mereka juga tahu persis apa konsekuensi terburuk yang harus mereka pikul akibat sikap “kaku” mereka. Mereka tak menginginkan itu, tapi mereka tak punya pilihan lain.

Mereka tahu bagaimana dunia mencurigai orang yang “berbeda.” Tidak menyukai orang yang menantang arus. Mereka disebut “eksentrik” atau “fanatik.”

Dunia juga membenci orang-orang yang berusaha teguh pada pendirian dan prinsip, tanpa mau berkompromi. Orang-orang seperti ini dinamai “mbalelo” atau “keras kepala.”

Dunia menuntut konformitas atau penyesuaian diri, lebih menyukai “orang baik-baik,” ketimbang “orang baik.” “Orang baik-baik” itu penurut, sedangkan “orang baik” biasanya pembangkang.

Salahkah berkompromi atau menyesuaikan diri? Tentu tidak. Keduanya tak terhindarkan, selama kita mesti hidup bersma-sama dengan orang lain.

“Take and give,” saling memberi dan saling menerima. Tapi persoalannya bukanlah kompromi boleh atau tidak, melainkan seberapa jauh.

Yesus bukan orang yang “eksentrik,” yang ingin asal tampil beda. Tidak. Ia dikecam karena Ia hidup normal, makan-minum, dan bergaul seperti orang biasa.

Namun, Ia menolak bersikap munafik. Ia menolak menipu orang lain dan membohongi diri sendiri. Ia akan mengatakan “ya” untuk yang “ya,” dan “tidak” bila harus “tidak.” Ia mau kita juga begitu.

Kepada gereja di Pergamus, Tuhan berkata, “Aku tahu di mana engkau diam, yaitu di sana, di tempat takhta Ibils.” Dia tahu di mana kita berada, yaitu di tempat yang jauh dari ideal bagi keamanan dan kenyamanan iman kita.

Akan tetapi, Ia mau kita tetap di situ dengan kedua belah kaki kita, dengan sepenuh hati kita. Dan dengan syarat, “engkau berpegang kepada nama-Ku, dan tidak menyangkal imanmu kepada-Ku.”

Orang Kristen tidak perlu harus kaku seperti kayu. Baik juga bila Anda bisa lentur seperti bambu, tapi selalu setia pada prinsip.

Pantang membohongi hati nurani. “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepadanya.